1. Kehidupan dan Kepribadian Khatib
al-Baghdadi
Al-Baghdadi
merupakan salah seorang tokoh Islam klasik yang terkenal di kalangan umat Islam
dan manusia sebagai pengarang sebuah karya besar Târikh Baghdad. Ia terkenal dengan sebutan Khatib al-Baghdadi. Nama
lengkapnya ialah Ahmad bin ‘Ali bin Tsabit bin Ahmad ibn Mahdi.
Sebutan al-khatib didasarkan kepada profesi dan kedudukan ayahnya sebagai
khatib dan imam dalam waktu yang lama di kampung Durzaijan al-‘Iraqiyah. Nama al-Khatib sebenarnya bukan sebutan untuk Khatib al-Baghdadi saja, karena
ada tokoh lain yang mendapat sebutan
al-Khatib, yaitu al-Khatib al-Tibrizi yang merupakan salah seorang murid Khatib al-Baghdadi. Sebutan al-khatib juga
didasarkan asalnya pada nisbah ‘arabi. Hal itu dikarenakan ia berasal dari
kalangan bangsa Arab yang mendiami suatu daerah dekat kawasan al-Hashashah di
sekitar sungai Furat (Efrat) di wilayah Irak di mana ayahnya tinggal di kampung
Durzaijân selama kurang lebih dua puluh tahun dengan aktivitas utama memimpin
kegiatan keagamaan masyarakatnya dengan menjadi khatib dan imam bagi mereka.
Al-Baghdadi
lahir di kampung Ghazyah, suatu daerah yang terletak dekat daerah Fayd.Suatu pendapat mengatakan ia lahir di daerah Hunaiqiya yang merupakan sebuah
kampung para pekerja yang mengurus sungai demi kepentingan kerajaan (nahr al-mulk),
pada bulan Jumadil Akhir tahun 392 H.
Ia tumbuh dan hidup di kampung Durzaijan diantara anggota-anggota keluarganya,
di bawah bimbingan dan pengasuhan ayahnya yang merupakan seorang pencinta ilmu
pengetahuan dan sangat memperhatikannya. Dengan keadaan inilah ia menanamkan
rasa cinta ilmu dan belajar pada anak-anaknya termasuk al-Baghdadi. Ia sangat
menganjurkan dan merperhatikan dirinya untuk menjaga kebiasaan belajar itu.
Di
samping dari ayahnya, pada masa kecilnya, al-Baghdadi juga menerima pendidikan
dari seorang ulama di daerahnya yang bernama Hilâl bin’abd Allah al-Thîbî.
Dari ulama tersebut ia belajar membaca dan menulis al-quran dan akhlaq. Ia juga
belajar berbagai bentuk bacaan al-quran (wujuh
al-qirâat) dari Ibn al-Shaidalani dan ‘Ali bin Manshûr al-Habali. Ia mengenal dan bisa melafalkan berbagai bentuk bacaan al-quran terutama
bacaan-bacaan yang mutawatirah. Pada saat usianya sebelas tahun, ia sangat
tertarik dan berkeinginan untuk mempelajari ilmu fiqh dan hadits. Keinginan
tersebut merupakan hasil didikan dan bimbingan ayahnya yang terus memberikan
samangat dan dorongan untuk terus belajar dalam berbagai bidang ilmu serta
untuk berguru pada siapa saja yang dipandang mampu memenuhi keinginannya untuk
mendapatkan ilmu. Oleh sebab itu ia
selalu mengikuti berbagai majlis ilmu. Ia mulai mempelajar hadits nabi dari seorang
muhaddits yang bernama Ibnu Rizqawiyah. Pada waktu yang bersamaan ia sering
pulang pergi mendatangi majlis seorang faqih madzhab Syafi’i yang terkenal di
daerahnya saat itu yang bernama Abi Hâmid al-Isfirâyîni. Dari dua orang ualam
tersebut, ia memperoleh berbagai pengetahuan terutama tentang hadits dan fiqh
sehingga tak heran kalau ia dikenal sebagai salah seorang rijal hadits dan
fuqaha yang dikagumi.
Setelah
itu ia terus meneruskan pengemabaraannya untuk menuntut ilmu terutama dalam
bidang hadits. Ia berguru pada banyak ulama serta banyak mendapatkan ilmu dalam
bidang hadits ini. Seperti yang ia dapatkan dari gurunya di atas, ia pun
memperoleh pengetahuan tentang hadits dan ilmu hadits ini dari salah seorang
gurunya yang lain yang bernama Abu Bakar
al-Burqâni yang banyak memberi pengaruh pada kehidupan keilmuannya dan
mengarahkannya untuk terus mempelajari hadits dan mengkhususkan diri dalam
bidang ini. Selain itu, al-Baghdadi terkenal sebagai orang yang
bersungguh-sungguh dalam belajar dan mengajarkan ilmunya lagi serta keluasan
pandangan sejak kecil sampai ia dewasa bahkan sampai masa tuanya. Ia banyak
melakukan perjalanan mencari ilmu (rihlah
ilmiah) ke berbagai daerah lain di luar kampungnya.
Al-Baghdadi
dipandang sebagai salah seorang rijal hadits terbesar di masanya dengan
kedalaman ilmu dan sikap zuhudnya. Ia memiliki akhlak yang mulia, perilaku yang terpuji dan kedudukan yang tinggi.
Ia adalah seorang yang bijaksana, tapi teguh pendirian, memiliki kepribadian
yang kuat dan sangat berpengaruh. Ia memiliki kemampuan intelektual yang
cerdas, mencintai ilmu, menjaga diri dan dikenal dengan kedermawanan dan
keagungan jiwanya. Ia merupakan tipe ulama yang pantas menjadi suri tauladan
bagi seorang ‘alim mu’min yang berkeinginan untuk memiliki ilmu dan amal yang
berbekas dan bermanfaat. Ia sendiri berpandangan bahwa hal yang paling penting
bagi seorang pencari ilmu adalah ikhlas dan bersungguh-sungguh dalam
mengamalkannya yang menurutnya merupakan buah dari ilmunya. Dengan sifat-sifat dan akhlakterpuji ini, menurut Yaqut al-Hamawi al-Baghdadi
merupakan sosok yang pantas menjadi protptipe dalam ilmu dan amal. Ia salah
seorang pakar ilmu dan pendidikan yang diperhitungkan dan memiliki derajat yang
tinggi dan posisi yang terhormat. Kita melihat ijma’ ‘ulama tentang berbagai
sifatnya seperti seorang yang berilmu, jujur, terpercaya ilmunya, bagus tulisan
dan karyanya, fasih bahasanya dan luas pandangannya.
Selain
beberapa karakter di atas, banyak ulama lain yang memberikan berbagai penilaian
tentang kepribadian dan keilmuan al-Baghdadi. Hal itu –tanpa bermaksud
melebih-lebihkan apalagi mengkultuskan—menunjukkan bahwa al-Baghdadi diakui
sebagai seorang tokoh Islam klasik yang kharisma dan wibawa keilmuan dan
kharisma serta wibawa edukatifnya diakui oleh ulama-lainnya. Beberapa ulama
–sekedar contoh—yang memberikan apresiasi dan penghargaan terhadap kepribadian
al-Baghdai diantaranya Ibnu Hajar al-‘Asqalâni, dan bahkan dalam pandangan Ibnu ‘Asakir ia merupakan salah seorang imam yang
masyhur, pengarang yang banyak karyanya, penghapal al-quran hadits (huffazh) yang cemerlang dan puncak
diwanul muhadditsin.
Dikalangan
orang-orang yang melakukan studi Islam tentang tokoh-tokoh Islam klasik ia
memiliki kedudukan yang diperhitungkan serta dijadikan salah seorang referensi
dalam berbagai aspek kilmuan Islam seperti hadits, sejarah, etika Islam, fiqh
dan sebagainya, hanya saja pemikiran-pemikiran kependidikannya tidak terlalu
tergali dan terbuka seperti bidang-bidang lainnya.
2. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat
Al-Baghadadi
hidup dan menjalani karir keilmuannya pada penghujung abad keempat dan separuh
lebih abad kelima hijriyah. Pada masa itu kehidupan umat Islam dalam berbagai
bidangnya berada di bawah kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah yang berkedudukan di
Baghdad. Kekuasaan dinasti Abbasiyah yang merupakan pengganti dinasti Bani
Umayah didirikan dikuasai oleh keturunan al-Abbas paman nabi Muhammad SAW.
Pendiri dinasti ini adalah Abdullah al-Saffah Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah
Ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, yaitu
dari tahun 132 H/ 750 M sampai tahun 656 H/ 1258 M.
Selama
dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai
dengan perbubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan perubahan pola
pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan
Bani Abbas menjadi lima periode,
yaitu periode pertama (132 H/750 M – 232 H/ 847 M) yang disebut periode
pengaruh Persia pertama, periode kedua (232 H/ 847 M-
334 H/ 945 M) yang disebut masa pengaruh
Turki pertama, periode ketiga (334 H/ 945 M – 447 H/ 1055 M), periode keempat
(447 H/ 1055 M – 590 H/ 1194 M) yang merupakan masa kekuasaan dinasti Bani
Saljuk dalam pemerintahan Khilafah abbasiyah dan biasanya disebut dengan masa
pengaruh Turki kedua, dan periode kelima (590 H/ 1194 M – 656 H/ 1258 M) yang
merupakan masa kekhalifahan bebas dari dinasti lain, tetapi kekuasaan hanya
efektif di sekitar kota Baghdad.
Dengan
melihat pembagian peride kekuasaan dinasti Bani abbasiyah di atas, Masa hidup
al-Baghdadi adalah pada sebagian periode ketiga dan sebagian periode keempat.
Pada periode ini kondisi sosial budaya negara dan masyarakat berada pada
kondisi yang kurang stabil, terutama dari segi politik. Hal itu ditandai dengan
banyaknya gejolak politik yang membawa pengaruh pada bidang-bidang kehidupan
lainnya.
Kondisi
kehidupan politik dinasti Bani Abbasiyah sebenarnya sudah lemah sejak awal-awal
abad keempat hijriyah. Hal itu diakibatkan beberapa sebab, diantaranya bergeser
dan bertambah kuatnya kekuasaan para pejabat selain khalifah, banykanya usaha
untuk membentuk pemerintahan sendiri dari beberapa daerah, banyak terjadinya
pertentangan politik antara khalifah dan para shultan di satu sisi dan antara
para shultan dengan para pembantunya di sisi lain. Keadaan tersebut terus berlangsung sampai kelompok Bani Bawaihi yang berhaluan
syi’ah masuk dan menguasai kota Baghdad pada tahun 334 H/ 945 M. Pada saat
Baghdad dikauasi dan dikendalikan kaum Buwaihi, terjadi pembatasan terhadap berbagai
kewenangan khalifah, hanya beberapa hal saja yang tetap menjadi kebijakan
khalifah seperti kepemimpinan politik formal dan kewenangan manajerial yang
terbatas seperti pengumuman perang, penentuan hakim, pengangkatan imam-imam
masjid, pengurusan masalah haji, menyambut datangnya suatu rombongan dari
perjalanan. Penggunan burdah (pakaian) kebesarab rasulullah SAW hanya sebatas
mempertegas kekuasaan khalifah pada aspek keagamaan. Pada saat kepemimpinan Daulah Bani Abbasiah di tangan orang-orang Buwaihipun,
situasi dan kondisi politik juga berada dalam keadaan tidak begiti stabil.
Setelah
menguasai Baghdad selama kurang lebih satu abad lamanya, dinasti Bani Bawaihi
pun mengalami kemunduran. Kemunduran tersebut disebabkan oleh beberapa hal,
diantaranya sering terjadinya pertikaian dalam keluarga dinasti terutama dalam
hal posisi dan jabatan politik serta tidak adanya aturan suksesi kepempimpinan
yang jelas. Juga lemahnya manajemen pemerintahan karena lebih banyak bertumpu
pada kekuatan militer. Di samping itu secara ekstern, kemunduran itu juga
disebabkan oleh banyaknya pemberontakan dari beberapa daerah dan usaha
pemberontakan oleh orang-orang dari daerah Turki yang dimotori oleh keturunan
Saljuk atau Bani Saljuk.
Setelah
pemerintahan yang dikendalikan oleh Bani Buwaihi mengalami kemunduran, maka
kendali pemerintahan akhirnya jatuh ke tangan orang-orang Bani Saljuk yang
sebelumnya banyak menempatkan diri sebagai pihak oposisi. Seperti dijelaskan
oleh al-Shuyuthi, bahwa kemunduran-kemunduran yang dialami oleh Bani Buwaihi
merupakan kesempatan baik bagi Bani Saljuk untuk mengambilalih kendali
pemerintahan setelah mereka berhasil mengatasi berbagai kemelut politik yang
banyak menggganggu kekuasaan sebelumnya. Maka setelah itu Daulah Abbasiah berada di bawah kendali Bani Buwaihi.
Setelah
berkuasa dan memegang kendali pemerintahan, Bani Saljuk berusaha untuk
mengembalikan kekuasaan pemerintahan pusat yang telah mengalami kelemahan,
walaupun terkadang mereka menempuh lngkah-langkah dengan kekerasan dan tidak
sedikit membawa korban, terutama dari pihak-pihak yang berbeda haluan politik
dengan mereka. Mereka tidak sekidit menakut-nakuti
orang-orang yang menentangnya bahwa mereka tidak akan mendapatkan pekerjaan dan
akan dikucilkan.
Dengan
usaha dan kerja kerasnya, maka masa pemerintahan Bani Saljuk bisa dikatakan
sebagai periode penting dalam memperbaharui kekuatan Islam dan usaha
mengembalikan wibawa khilafah ‘Abbasiah serta usaha mengatasi berbagai
disintegrasi politik dan wilayah yang terjadi baik di dalam, maupun di luar dan
mempersatukan kembali kekuatan dan kesatuan politik ke tangan daulah islamiah. Di samping dalam bidang politik dan militer, usaha uang dilakukan oleh Bani
Saljuk juga meliputi bidang-bidang lainnya, seperti bidang keilmuan, ekonomi
dan kemasyarakatan serta berbagai aspek kehidupan lainnya.
Seperti
dinasti sebelumnya (Buwaihi), setelah kurang lebih satu setengah abad (447 H/
1055 M – 590 H/ 1194 M), dinasti Bani saljukpun tidak dapat mempertahankan
kekuatan dan wibawa politik. Perpecahan
dan pertentangan yang terjadi di dalam tubuh dinasti itu serta kurang hebatnya
penanganan dan manajemen pemerintahan saat itu telah mengantarkannya pada
posisi yang lemah, dan disintegrasi politik dan wilayah tidak dapat dihindari
lagi. Dengan kondisi ini, dinasti yang telah dibangun itu mengalami kemunduran.
Demikianlah
kondisi kehidupan politik secara singkat dapat dijelaskan disini pada saat
hidup dan berkarirnya al-Baghdadi. Secara umum dapat digambarkan bahwa
kehidupan politik yang terjadi pada masa hidupnya al-Baghdadi mengalami
dinamika dan pasang surut yang cukup signifikan. Hal itu, tidak begitu besar
pengaruhnya bagi kehidupan dan karir intelektual al-Baghdadi, karena ia tidak
banyak terlibat dengan kegiatan-kegiatan politik.
Kehidupan
ekonomi yang dialami masyarakat pada masa hidupnya al-Baghdadi berada dalam
kondisi yang sangat memperihatinkan. Dalam beberapa literature dijelaskan
gambaran kehidupan ekonomi masyarakat, bahwa mereka sering mengalami kekurangan
pangan, kelaparan dan kerusakan yang keadaan tersebut menyebabkan terjadinya
kelumpuhan ekonomi. Kondisi demikian telah membawa sebagian besar masyarakat
pada keadaan yang membayakan serta tidak sedikit banyak menimbulkan kematian
dan tersebarnya berbagai penyakit. Rakyat banyak menderita dan pemerintah tidak begitu banyak memperhatikanya
karena terlalu sikbuk mengatasi berbagai gejolak politik.
Kondisi
ekonomi yang demikian parah dan –apalagi—tidak memberikan kemakmuran dan
kesejahteraan bagi rakyat itu disebabkan oleh beberapa factor, seperti lemah
dan tidak terkendalinya lagi masalah politik, lemahnya manajemen pemerintahan,
borosnya pengeluaran negara untuk hal-hal yang tidak langsung berkaitan dengan
kebutuhan rakyat terutama aspek ekonomi, Tidak adanya rasa aman dalam pengelolaan
harta dengan sering keluarnya aturan pengurusan harta yang merugikan rakyat,
banyak timbulnya bencana serta buruknya proses distribusi harta dan kegiatan
ekonomi secara umum.
Kehidupan
sosial kemasyarakatan juga dipengaruhi oleh kondisi poltik dan ekonomi yang
terjadi saat itu. Walaupun secara umum kehidupan politik dan eknomi tidak
stabil, namun di sisi lain terdapat kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang
mengalami kehidupan sosial yang berbeda dengan kehidupan masyarakat pada
umumnya. Mereka menurut Muhammad Ahmad Thals dapat dikelompokkan ke dalam beberapa golongan, diantaranya kelompok keluarga
khalifah dan sulthan yang memiliki banyak kekayaan, kelompok orang-orang yang
dekat dengan penguasa seperti hakim dan pekerja kerajaan, para pedagang besar
dan pemilik tanah yang luas. Di bawah mereka ada kelompok pdagang kecil dan
kelompok petani, serta yang terakhir kelompok masyarakat kebanyakan. Selain itu
ada pula kelompok orang yang lebih mementingkan kegiatan ilmu dan yang bekerja
dengan pekerjaan-pekerjan tertentu di luar bidang pekerjaan di lingkungan
khilafah dan di luar perdagangan dan pertanian.
Tidak
stabilnya kehidupan politik dan kurang bagusnya kehidupan ekonomi terutama yang
dialami kalangan rakyat bawah yang merupakan mayoritas, mengakibatkan sering
terjadinya keresahan sosial yang terjadi. Tidak sedikit diantara mereka yang
menempuh jalan yang tidak benar dan mengakibatkan banyak munculnya
penyakit-penyakit sosial yang merugikan, seperti perjudian, pencurian,
pemabukan dan berbagai bentuk kemunkaran lainnya, di samping pola hidup para
penguasa yang semakin jauh dari aturan moral dan akhlak mulia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
kehidupan sosial masyarakat berpengaruh besar terhadap semakin jauhnya mereka
dari batasan-batasan agama. Masyrakat banyak mengalami putus asa, saling
menyalahkan satu sama lain dan munculnya berbagai macam kerusakan terutama
secara mental spiritual.
Di
sisi lain, disaat kehidupan politik, ekonomi dan sosial berada dalam keadaan
memperihatinkan itu, kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan masalah ilmu yang
dilaksanakan oleh mereka ynag bergelut dibidangnya, mengalami perkembangan yang
sebaliknya. Pada saat itu tersebar berbagai majlis ilmu dan kegiatan diskusi,
terutama yang membahas masalah-masalah yang terjadi ditengah-tengah negara dan
masyarakat. Hal itu dilaksanakan ditengah keterbatasan kkhalifah dan lemahnya pemerintahan.
Mereka banyak membahas bagaimana memperbaiki kehidupan akhlak masyarakat. Juga
merekapun tidak ketinggalan membicarakan hikayat-hikayat, cerita-cerita
terutama untuk menghibur diri dari keadaan yang kurang menguntungkan saat itu.
3. Karir Intelektual al-Baghdadi
Al-Baghdadi
merupakan satu orang –terutama pada zamannya—yang sangat mencintai dan
bersungguh-sungguh dalam hal ilmu pengetahuan. Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, bahwa ayahnya telah mengarahkan dirinya terhadap ilmu dan
kesungguhan mencarinya. Hal itu mengantarkan al-Baghdadi sebagai seseorang yang
berhasil meniti karir intelektual berupa penguasaan beberapa bidang ilmu agama
yang terlihat dengan banyak lahirnya karya-karya intelektual yang sangat
berharga bagi perkembangan Islam dan kepentingan umatnya.
Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, bahwa walaupun pada masa hidupnya al-Baghdadi (abad lima
hijriyah) kehidupan politik, sosial ekonomi negara dan masyarakat tidak begitu
stabil, namun kegiatan keilmuan tetap berjalan dengan baik. Hal itu ditandai
dengan banyak munculnya kegiatan keilmuan, lahirnya tokoh-tokoh ilmu yang
memang jauh beberapa abad sebelumnya sudah terjadi. Al-Baghdadi adalah salah
seorang tokoh yang merasakan bagusnya iklim intelektual itu, sehingga ia bisa
mengembangkan diri dan karirnya dibidang ini.
Karir
intelektual al-Baghdadi ini berkaitan dengan pengembaraannya dalam mencari ilmu
ke berbagai daerah --termasuk pada masa terjadinya instabilitas politik daulah
Bani ‘Abbasiyah abad kelima hijriyah-- dengan belajar ke beberapa orang
gurunya, serta upayanya mentransformasikan ilmu itu dalam bentuk aktivitasnya
mengajar di berbagai majlis ilmu. Juga dengan banyaknya orang yang menimba ilmu
darinya sehingga ia tercatat memiliki banyak murid.
Al-Baghdadi
belajar berbagai bidang ilmu agama kepada sejunlah orang yang menjadi gurunya
yang menurut al-Thahhan jumlahnya mencapai ratusan orang. Sebagian besar adalah imam-imam hadits dan huffazh. Mereka itu diantaranya Aba
Na’im al-Ashbihâni, Abâ ‘Abd Allah al-Shûry, Abu Rizqawiyah dan al-Mahâmili
serta yang lain-lainnya. Adapun beberapa muridnya yang yerkenal diantaranya Ibn
Ma’kul, ‘Abd al-‘Aziz al-Kittâni, Ibn al-Akfâni, Abu Ishaq al-Qusyairy, Thahir
bin Sahal al-Isfirai, al-Khatib al-Tibrizi dan lain-lainnya. Al-Baghdadi sangat
menghormati dan mengagungkan guru-gurunya itu, sebagaimana ia sangat perhatian
dan mengasihi murid-muridnya.
Karir
intelektual al-Baghdadi juga terlihat dari aktivitas keilmuannya yang
berkembang seiring dengan baiknya kondisi kebebasan berpikir dan munculnya
pusat-pusat aktivitas ilmu, terutama dengan berdirinya madrasah-madrasah yang
dipelopori oleh pendirian madrasah Nizhamiyah oleh perdana menteri Nizham al
Mulk pada tahun 450 H. Madrasah-madrasah
yang banyak muncul itu nantinya menjadi terspisifikasi dalam bentuk madrasah
al-Fuqaha wa al-Muhadditsin, madrasah ‘ulama al-Kalam, madrasah al-Falasifah dan
madrasah Shufiyyah. Kehadiran madrasah-madrasah tersebut memberi peluang kepada
al-baghdadi untuk mengembangkan karir intelektualnya, baik sebagai pengajar,
maupun sebagai penengah ketika terjadinya “konflik” intelektual diantara mereka
yang berbeda pendapat, seperti yang terjadi diantara ahl al-kalam di satu pihak
dengan ahl al-hadits dan fiqih di pihak lain. Selain itu, seperti
dijelaskannya, bahwa ia banyak terlibat dalam upaya mencari penyelesaian
perbedaan pendapat antara para fuqaha dan muhaddits, dengan memberikan
penjelasan akar permasalahan dan pertentangan mereka dan membawanya pada
kemashlahatan ilmu dan pemahaman yang merupakan tujuannya dalam ilmu dan agama.
Banyaknya
berdiri madrasah dengan berbagai kegiatan keilmuan tersebut, menandakan bahwa
kegiatan pendidikan secara umum berjalan dengan baik. Tiap-tiap madrasah
memiliki tujuan dan orientasi masing-masing. Madrasah fuqaha lebih menekankan
aspek fiqh, madrasah muhadditsin memiliki fokus kajiannya pada bidang hadits
dan ulumul hadits, madrasah ahli kalam dengan penekanan kajian kalamnya,
madrasah falasifah dengan menitik beratkan aspek pemikiran filsafatnya dan
madrasah shufiyyah dengan orientasi tashawufnya. Fenomena pendidikan tersebut
sedikit banyak mempengaruhi pola pikir al-Baghdadi dalam berbagai bidang
keilmuan, termasuk dalam bidang pendidikan yang lebih luasnya akan terlihat
dalam pembahasan berikutnya.
4. Karya-Karya Intelektual al-Baghdadi
Sebagai
seorang ulama yang banyak bergelut dengan dunia keilmuan, al-Baghdadi telah
menghasilkan berbagai karya intelektual dalam berbagai bidang ilmu keislaman,
terutama yang lebih banyak dikenal dalam bidang hadits dan ilmu hadits. Di
samping itu, ia juga menghasilkan beberapa karya intelektual dalam bidang fiqh,
akhlak dan sejarah. Salah satu karya al-Baghdadi yang paling monumental dan
memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi adalah Tarikh Baghdad.
Dalam
karya besarnya tersebut, al-Baghdadi menjelaskan secara panjang lebar sejarah
kota Baghdad dan hal-hal yang berkaitan dengannya sejak berdirinya sampai tahun
463 H. Buku sejumlah dua puluh jilid tersebut menceritakan berbagai hal yang
ada di dalam kota besar itu, yaitu tentang sifat-sifat, garis-garis batasnya
dan juga tentang peradabannya. Al-Baghdadi juga menceritakan orang-orang yang
mewarnai dan mempengaruhi kota itu dari berbagai aspeknya, yaitu para khalifah,
raja, pemimpin, menteri dan orang-orang mulia lainnya. Juga menjelaskan manusia-manusia yang
memiliki kedudukan tinggi dalam bidang keilmuan dan berjasa dalam
mengembangkannya, yaitu ilmu Nahwu (al-Nuhât), Sharf (al-Sharfiyyîn),
Bayan (al-Bayâniyyîn), bahasa (al-Lughawiyyîn), qiraat (al-Qurrâ), tafsir
(al-Mufassirîn), hadits (al-Muhadditsîn), kalam (al-Mutakallimîn), mantiqh/
logika (al-Manthîqiyyin), Ushul (al-Ushûliyyîn), ulama yang memiliki kemampuan
dan otoritas berijtihad (al-Mujtahidîn), Fiqh (al-Fuqahâ), ahli hukum/ hakim
(al-Qudhât), Farâidh (al-Fardhiyyîn) dari berbagai madzhab. Ia juga mencatat
dan menjelaskan orang-orang dengan
kekhususan perilaku keagamaanya, yaitu orang-orang zuhud (al-Zuhhâd),
orang-orang ahli ibadah (al-Nussak), orang-orang yang bertashawwuf
(al-Mutashawwifah), orang-orang yang pandai menyampaikan cerita (al-Qashshash),
orang-orang yang banyak memberi nasihat (al-Wu’azh), ahli hitung/ matematika
(al-Riyadhiyyin al-Hisab), ahli tehnik (al-Handasiyyin), ahli Falak
(al-Falakiyyin), ahli nujum (al-Munjimin), ahli musik (al-Musiqiyyin), dokter
(al-Athibba), ahli mengobati luka (al-Jarrahin), para penulis/ sekretaris
(al-Kuttab), ahli menulis kaligrafi (al-Khaththathin), ahli sastra (al-Mutaaddibin),
ahli berita (al-Akhbariyyin), ahli nasab (al-Nasabiyyin), ahli sejarah
(al-Muarrikhin), ahli ilmu ‘Arudh (al-‘Arudhiyyin), ahli Sya’ir (al-Syu’ara),
ahli menyanyi (al-Mughanin), ahli pemanah (al-Rummat) dan ahli menunggang kuda
(al-Fursan). Mereka diberitakan dengan
kunyah, laqab dan nasab serta kemasyhuran pengaruhnya dan tahun wafatnya. Ia
menceritakannya berdasarkan urutan adyad huruf Arab. Al-Baghdadi mengakhiri
karyanya itu dengan menceritakan wanita-wanita dan amat yang masyhur karena
kelembutannya.
Al-Baghdadi
menjelaskan semua yang berkaitan dengan kota Baghdad tersebut melalui
sanad-sanadnya, dan ia sangat berhati-hati dalam menyampaikannya. Ketelitian
dan kehati-hatian al-Baghdadi dalam menyampaikan berita-berita yang sampai
kepadanya tentang kota itu, membuktikan bahwa ia merupakan salah ulama penulis
karya intelektual yang luar biasa. Tidak heran kalau karya besar itu banyak
menjadi rujukan tokoh-tokoh lainnya dalam karya yang bernilai historis. Buku
Tarikh Baghdad ini di pandang sebagai karya paling terkenal dari al-Baghdadi.
Salah seorang pembahasnya Munir al-Din Ahmad menganggapnya sebagai suatu
risalah keilmuan (risalah ‘ilmiyah)
di sekitar sejarah yang bernilai pendidikan Islam.
Di
samping menghasilkan karya yang sangat bernilai sejarah tersebut, al-Baghdadi
juga masih memiliki berbagai karya lainnya, termasuk dan terutama yang memiliki
nilai pendidikan. Karya-karya tersebut kebanyakan berkaitan dengan adab-adab
(etika) periwayatan yang dalam substansinya memliki nilai pendidikan dan
pengajaran serta mengarahkan bagaimana hal-hal yang harus dilakukan oleh
seorang ‘alim dan muta’allim dalam kegiatan belajar mengajar. Beberapa karya
tersebut diantaranya:
1.
Kitab
Iqtidhâ al-‘ilm al-‘amal
2.
Kitab
al-Jâmi’ li akhlâq al-Râwi wa adâb al-Sâmi’
3.
Kitab
Syarf ashhâb al-Hadits
4.
Kitab
Nashîhat ahl al-Hadits
5.
Kitab
Taqyîd al-‘Ilm
6.
Kitab
al-Rihlah fi thalab al-Hadits
7.
Kitab
al-Faqih wa al-Mutafaqqih
Pada masanya, kitab-kitab tersebut memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan kebudayaan dan pendidikan. Keberadaannya dapat membuka gairah kegiatan ilmiah bagi ulama dan mengembangkan gerakan berpikir di kota-kota Islam. Hal itu didasarkan pada adanya penjelasan tentangberbagai metode belajar dan keterkaitan para ulama (guru) dengan muridnya. Selain itu diketahui juga melalui beberapa karya itu lembaga-lembaga keilmuan yang tersebar pada abad kelima hijriyah itu dan berbagai lingkungan pendidikan dan majlis-majlis diskusi yang diselenggarakan oleh para ulama besar di masjid-masjid atau kampung-kampung untuk mengajarkan hadits, berdiskusi dan belajar ilmu lainnya.
Pada masanya, kitab-kitab tersebut memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan kebudayaan dan pendidikan. Keberadaannya dapat membuka gairah kegiatan ilmiah bagi ulama dan mengembangkan gerakan berpikir di kota-kota Islam. Hal itu didasarkan pada adanya penjelasan tentangberbagai metode belajar dan keterkaitan para ulama (guru) dengan muridnya. Selain itu diketahui juga melalui beberapa karya itu lembaga-lembaga keilmuan yang tersebar pada abad kelima hijriyah itu dan berbagai lingkungan pendidikan dan majlis-majlis diskusi yang diselenggarakan oleh para ulama besar di masjid-masjid atau kampung-kampung untuk mengajarkan hadits, berdiskusi dan belajar ilmu lainnya.
Karya-karya
al-Baghdadi di atas sarat dengan nilai-nilai pendidikan. Kitab Iqtidha al-‘ilm
al-‘amal dapat dikatakan sebagai kitab pendidikan karena isinya menyangkut
banyak aspek pendidikan dan upaya implementasinya. Al-Baghdadi dari awal hingga
akhirnya membentangkan bahasan tentang pentingnya mengumpulkan ilmu dan
mengamalkannya yang dapat dipandang sebagai salah satu dasar Islam, bahkan
merupakan suatu keharusan membuktikan ilmu itu dalam wujud amal yang terbaik,
berdasarkan asumsi bahwa mengamalkan ilmu itu merupakan salah satu asas dalam
pendidikan dan pengajaran dalam Islam, karena kalau ilmu hanya untuk diketahui
saja tanpa diamalkan tidak memiliki arti dalam Islam (ilmu untuk ilmu) sebagaimana
yang banyak dilupakan oleh banyak pendidikan pada masa dahulu dan masa
sekarang. Kitab itu juga memberikan dorongan bagi setiap orang yang belajar
untuk mengamalkan ilmunya. Pada masa sekarang ini, nasihat tersebut sangat
berarti bagi kita untuk membangkitkan kegiatan pendidikan yang berbekas nyata,
karena kesulitan itu tidak terletak pada ilmu-ilmu dan pengetahunannya, tetapi
pada adanya kemampuan untuk mengambil faedah dalam arti mengamalkan ilmu itu
untuk mengembangkan berbagai potensi yang berguna bagi kehidupan kita.
Kitab
Syarf
ashhâb al-hadits adalah sebuah kitab yang mengarahkan seorang mu’allim tentang tujuan mengetahui
kedudukan dan aktivitasnya dalam menyebarkan ilmu dan menyampaikannya. Dalam
kitab ini terdapat beberapa bahasan tentang kedudukan seorang ‘alim dan
kemuliaannya, serta hal-hal yang mesti diperhatikannya berupa etika dan akhlak
yang sesuai dengan nilai-nilai agama. Adapun kitab Nashihat ahl al-hadits pada dasarnya tidak jauh berbeda
dengan kitab Syarf ashhâb al-hadits. Di dalamnya dijelaskan sebab-sebab
cacatnya muhadditsin berupa kurang baiknya pemahaman terhadap apa yang mereka
kumpulkan. Hal ini merupakan ajakan untuk mempertajam pemahaman dan menggunakan
pikiran serta kedalaman dalam memahami nash-nash agama dan upaya istinbath
al-ahkam. Dengan kitab ini, al-Baghdadi juga memberikan cara mengupayakan
perbaikan sebagian prinsip-prinsip pendidikan seperi pengajaran bagi orang
dewasa dan pengaruh kondisi masyarakat terhadap pendidikan.
Dalam
kitab al-Rihlah fi thalab al-hadits al-Baghdadi
menjelaskan pentingnya upaya melakukan perjalanan dalam mencari ilmu. Hal itu
menurutnya merupakan salah satu sarana belajar yang sangat ditekankan oleh para
ahli hadits dan ahli pendidikan. Adapun kitab Taqyîd al-‘ilm merupaka sebuah ajakan kepada para pencari ilmu
untuk selalu membaca, memperdalam pemahaman dan mempelajarinya, sebagaimana hal
itu merupakan ajakan juga kepada para ulama untuk memperkuat ilmu mereka agar
bermanfaat di setiap tempat dan waktu.
Kitab
al-Jâmi’ li akhlaq al-Râwi wa adab
al-Sâmi’ dipandang sebagai kitab bernuansa pendidikan paling penting dari
al-Baghdadi, walaupun –terutama dari segi judulnya—lebih berkaitan dengan
orang-orang yang terlibat dalam tahammul wa al adâ li al-hadits. Hal itu terlihat dari berbagai isyarahnya
tentang hal-hal yang harus diperhatikan oleh para pendidik dan anak didik yang
dalam hal ini dinisbahkan kepada seorang rawi hadits dan gurunya.
Kitab
al-Faqih wa al-Mutafaqqih merupakan
kitab ushul al-fiqh terpenting karya al-Baghdadi. Walaupun hampir dua pertiga
kitab itu membahas tentang ushul fiqh, namun dalam sepertiganya ia membahas
sisi lain hal yang harus diperhatikan oleh seorang ‘alim dan muta’allim dan
etika-etika belajar serta keharusan mengamalkan ilmu dengan mengikuti suri tauladan
yang baik (qudwah hasanah). Dalam kitab ini, al-Baghdadi membicarakan beberapa
sumber pendidikan dalam pandangannya, yaitu al-quran al-karim, al-sunnah
al-nabawiyyah, al-ijma’ dan al-qiyas.
Mengakhiri
bahasan sekitar biografi al-Baghdadi ini, perlu disampaikan tentang wafatnya
al-Baghdadi. Ia wafat pada hari senin, tanggal tujuh bulan Dzulhijjah tahun 463
H di Baghdad. Ia dikuburkan di dekat salah seorang ulama terkenal yaitu Basyar
bin al-Hârits al-Hâfi.. Dengan wafatnya al-Baghdadi Mahmud
al-Thahhan mengatakan bahwa buku-buku ilmu yang sangat berharga dan karangan
yang bernilai telah tertutup dan umat Islam kehilangan seorang tokoh yang
sangat memperhatikan khazanah ilmu-ilmu keislaman, terutama ilmu hadits.
terima kasih. info yang berguna.
BalasHapusMa sya Allah.... bisa kasih kita referensinya kah ??
BalasHapus