Laman

Selasa, 31 Maret 2015

KHATIB AL-BAGHDADI

1. Kehidupan dan Kepribadian Khatib al-Baghdadi
Al-Baghdadi merupakan salah seorang tokoh Islam klasik yang terkenal di kalangan umat Islam dan manusia sebagai pengarang sebuah karya besar Târikh Baghdad. Ia terkenal dengan sebutan Khatib al-Baghdadi. Nama lengkapnya ialah Ahmad bin ‘Ali bin Tsabit bin Ahmad ibn Mahdi. Sebutan al-khatib didasarkan kepada profesi dan kedudukan ayahnya sebagai khatib dan imam dalam waktu yang lama di kampung Durzaijan al-‘Iraqiyah. Nama al-Khatib sebenarnya bukan sebutan untuk Khatib al-Baghdadi saja, karena ada tokoh lain  yang mendapat sebutan al-Khatib, yaitu al-Khatib al-Tibrizi yang merupakan salah seorang murid Khatib al-Baghdadi. Sebutan al-khatib juga didasarkan asalnya pada nisbah ‘arabi. Hal itu dikarenakan ia berasal dari kalangan bangsa Arab yang mendiami suatu daerah dekat kawasan al-Hashashah di sekitar sungai Furat (Efrat) di wilayah Irak di mana ayahnya tinggal di kampung Durzaijân selama kurang lebih dua puluh tahun dengan aktivitas utama memimpin kegiatan keagamaan masyarakatnya dengan menjadi khatib dan imam bagi mereka.
Al-Baghdadi lahir di kampung Ghazyah, suatu daerah yang terletak dekat daerah Fayd.Suatu pendapat mengatakan ia lahir di daerah Hunaiqiya yang merupakan sebuah kampung para pekerja yang mengurus sungai demi kepentingan kerajaan (nahr al-mulk), pada bulan Jumadil Akhir tahun 392 H. Ia tumbuh dan hidup di kampung Durzaijan diantara anggota-anggota keluarganya, di bawah bimbingan dan pengasuhan ayahnya yang merupakan seorang pencinta ilmu pengetahuan dan sangat memperhatikannya. Dengan keadaan inilah ia menanamkan rasa cinta ilmu dan belajar pada anak-anaknya termasuk al-Baghdadi. Ia sangat menganjurkan dan merperhatikan dirinya untuk menjaga kebiasaan belajar itu.
Di samping dari ayahnya, pada masa kecilnya, al-Baghdadi juga menerima pendidikan dari seorang ulama di daerahnya yang bernama Hilâl bin’abd Allah al-Thîbî. Dari ulama tersebut ia belajar membaca dan menulis al-quran dan akhlaq. Ia juga belajar berbagai bentuk bacaan al-quran (wujuh al-qirâat) dari Ibn al-Shaidalani dan ‘Ali bin Manshûr al-Habali. Ia mengenal dan bisa melafalkan berbagai bentuk bacaan al-quran terutama bacaan-bacaan yang mutawatirah. Pada saat usianya sebelas tahun, ia sangat tertarik dan berkeinginan untuk mempelajari ilmu fiqh dan hadits. Keinginan tersebut merupakan hasil didikan dan bimbingan ayahnya yang terus memberikan samangat dan dorongan untuk terus belajar dalam berbagai bidang ilmu serta untuk berguru pada siapa saja yang dipandang mampu memenuhi keinginannya untuk mendapatkan ilmu.  Oleh sebab itu ia selalu mengikuti berbagai majlis ilmu. Ia mulai mempelajar hadits nabi dari seorang muhaddits yang bernama Ibnu Rizqawiyah. Pada waktu yang bersamaan ia sering pulang pergi mendatangi majlis seorang faqih madzhab Syafi’i yang terkenal di daerahnya saat itu yang bernama Abi Hâmid al-Isfirâyîni. Dari dua orang ualam tersebut, ia memperoleh berbagai pengetahuan terutama tentang hadits dan fiqh sehingga tak heran kalau ia dikenal sebagai salah seorang rijal hadits dan fuqaha yang dikagumi.
Setelah itu ia terus meneruskan pengemabaraannya untuk menuntut ilmu terutama dalam bidang hadits. Ia berguru pada banyak ulama serta banyak mendapatkan ilmu dalam bidang hadits ini. Seperti yang ia dapatkan dari gurunya di atas, ia pun memperoleh pengetahuan tentang hadits dan ilmu hadits ini dari salah seorang gurunya yang lain yang  bernama Abu Bakar al-Burqâni yang banyak memberi pengaruh pada kehidupan keilmuannya dan mengarahkannya untuk terus mempelajari hadits dan mengkhususkan diri dalam bidang ini. Selain itu, al-Baghdadi terkenal sebagai orang yang bersungguh-sungguh dalam belajar dan mengajarkan ilmunya lagi serta keluasan pandangan sejak kecil sampai ia dewasa bahkan sampai masa tuanya. Ia banyak melakukan perjalanan mencari ilmu (rihlah ilmiah) ke berbagai daerah lain di luar kampungnya.
Al-Baghdadi dipandang sebagai salah seorang rijal hadits terbesar di masanya dengan kedalaman ilmu dan sikap zuhudnya. Ia memiliki akhlak yang mulia, perilaku yang terpuji dan kedudukan yang tinggi. Ia adalah seorang yang bijaksana, tapi teguh pendirian, memiliki kepribadian yang kuat dan sangat berpengaruh. Ia memiliki kemampuan intelektual yang cerdas, mencintai ilmu, menjaga diri dan dikenal dengan kedermawanan dan keagungan jiwanya. Ia merupakan tipe ulama yang pantas menjadi suri tauladan bagi seorang ‘alim mu’min yang berkeinginan untuk memiliki ilmu dan amal yang berbekas dan bermanfaat. Ia sendiri berpandangan bahwa hal yang paling penting bagi seorang pencari ilmu adalah ikhlas dan bersungguh-sungguh dalam mengamalkannya yang menurutnya merupakan buah dari ilmunya. Dengan sifat-sifat dan akhlakterpuji ini, menurut Yaqut al-Hamawi al-Baghdadi merupakan sosok yang pantas menjadi protptipe dalam ilmu dan amal. Ia salah seorang pakar ilmu dan pendidikan yang diperhitungkan dan memiliki derajat yang tinggi dan posisi yang terhormat. Kita melihat ijma’ ‘ulama tentang berbagai sifatnya seperti seorang yang berilmu, jujur, terpercaya ilmunya, bagus tulisan dan karyanya, fasih bahasanya dan luas pandangannya.
Selain beberapa karakter di atas, banyak ulama lain yang memberikan berbagai penilaian tentang kepribadian dan keilmuan al-Baghdadi. Hal itu –tanpa bermaksud melebih-lebihkan apalagi mengkultuskan—menunjukkan bahwa al-Baghdadi diakui sebagai seorang tokoh Islam klasik yang kharisma dan wibawa keilmuan dan kharisma serta wibawa edukatifnya diakui oleh ulama-lainnya. Beberapa ulama –sekedar contoh—yang memberikan apresiasi dan penghargaan terhadap kepribadian al-Baghdai diantaranya Ibnu Hajar al-‘Asqalâni, dan bahkan dalam pandangan Ibnu ‘Asakir ia merupakan salah seorang imam yang masyhur, pengarang yang banyak karyanya, penghapal al-quran hadits (huffazh) yang cemerlang dan puncak diwanul muhadditsin.
Dikalangan orang-orang yang melakukan studi Islam tentang tokoh-tokoh Islam klasik ia memiliki kedudukan yang diperhitungkan serta dijadikan salah seorang referensi dalam berbagai aspek kilmuan Islam seperti hadits, sejarah, etika Islam, fiqh dan sebagainya, hanya saja pemikiran-pemikiran kependidikannya tidak terlalu tergali dan terbuka seperti bidang-bidang lainnya.

2. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat
Al-Baghadadi hidup dan menjalani karir keilmuannya pada penghujung abad keempat dan separuh lebih abad kelima hijriyah. Pada masa itu kehidupan umat Islam dalam berbagai bidangnya berada di bawah kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah yang berkedudukan di Baghdad. Kekuasaan dinasti Abbasiyah yang merupakan pengganti dinasti Bani Umayah didirikan dikuasai oleh keturunan al-Abbas paman nabi Muhammad SAW. Pendiri dinasti ini adalah Abdullah al-Saffah Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, yaitu dari tahun 132 H/ 750 M sampai tahun 656 H/ 1258 M.
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perbubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode, yaitu periode pertama (132 H/750 M – 232 H/ 847 M) yang disebut periode pengaruh Persia pertama, periode kedua (232 H/ 847 M-
334 H/ 945 M) yang disebut masa pengaruh Turki pertama, periode ketiga (334 H/ 945 M – 447 H/ 1055 M), periode keempat (447 H/ 1055 M – 590 H/ 1194 M) yang merupakan masa kekuasaan dinasti Bani Saljuk dalam pemerintahan Khilafah abbasiyah dan biasanya disebut dengan masa pengaruh Turki kedua, dan periode kelima (590 H/ 1194 M – 656 H/ 1258 M) yang merupakan masa kekhalifahan bebas dari dinasti lain, tetapi kekuasaan hanya efektif di sekitar kota Baghdad.
Dengan melihat pembagian peride kekuasaan dinasti Bani abbasiyah di atas, Masa hidup al-Baghdadi adalah pada sebagian periode ketiga dan sebagian periode keempat. Pada periode ini kondisi sosial budaya negara dan masyarakat berada pada kondisi yang kurang stabil, terutama dari segi politik. Hal itu ditandai dengan banyaknya gejolak politik yang membawa pengaruh pada bidang-bidang kehidupan lainnya.
Kondisi kehidupan politik dinasti Bani Abbasiyah sebenarnya sudah lemah sejak awal-awal abad keempat hijriyah. Hal itu diakibatkan beberapa sebab, diantaranya bergeser dan bertambah kuatnya kekuasaan para pejabat selain khalifah, banykanya usaha untuk membentuk pemerintahan sendiri dari beberapa daerah, banyak terjadinya pertentangan politik antara khalifah dan para shultan di satu sisi dan antara para shultan dengan para pembantunya di sisi lain. Keadaan tersebut terus berlangsung sampai kelompok Bani Bawaihi yang berhaluan syi’ah masuk dan menguasai kota Baghdad pada tahun 334 H/ 945 M. Pada saat Baghdad dikauasi dan dikendalikan kaum Buwaihi, terjadi pembatasan terhadap berbagai kewenangan khalifah, hanya beberapa hal saja yang tetap menjadi kebijakan khalifah seperti kepemimpinan politik formal dan kewenangan manajerial yang terbatas seperti pengumuman perang, penentuan hakim, pengangkatan imam-imam masjid, pengurusan masalah haji, menyambut datangnya suatu rombongan dari perjalanan. Penggunan burdah (pakaian) kebesarab rasulullah SAW hanya sebatas mempertegas kekuasaan khalifah pada aspek keagamaan. Pada saat kepemimpinan Daulah Bani Abbasiah di tangan orang-orang Buwaihipun, situasi dan kondisi politik juga berada dalam keadaan tidak begiti stabil.
Setelah menguasai Baghdad selama kurang lebih satu abad lamanya, dinasti Bani Bawaihi pun mengalami kemunduran. Kemunduran tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya sering terjadinya pertikaian dalam keluarga dinasti terutama dalam hal posisi dan jabatan politik serta tidak adanya aturan suksesi kepempimpinan yang jelas. Juga lemahnya manajemen pemerintahan karena lebih banyak bertumpu pada kekuatan militer. Di samping itu secara ekstern, kemunduran itu juga disebabkan oleh banyaknya pemberontakan dari beberapa daerah dan usaha pemberontakan oleh orang-orang dari daerah Turki yang dimotori oleh keturunan Saljuk atau Bani Saljuk.     
Setelah pemerintahan yang dikendalikan oleh Bani Buwaihi mengalami kemunduran, maka kendali pemerintahan akhirnya jatuh ke tangan orang-orang Bani Saljuk yang sebelumnya banyak menempatkan diri sebagai pihak oposisi. Seperti dijelaskan oleh al-Shuyuthi, bahwa kemunduran-kemunduran yang dialami oleh Bani Buwaihi merupakan kesempatan baik bagi Bani Saljuk untuk mengambilalih kendali pemerintahan setelah mereka berhasil mengatasi berbagai kemelut politik yang banyak menggganggu kekuasaan sebelumnya. Maka setelah itu Daulah Abbasiah berada di bawah kendali Bani Buwaihi.
Setelah berkuasa dan memegang kendali pemerintahan, Bani Saljuk berusaha untuk mengembalikan kekuasaan pemerintahan pusat yang telah mengalami kelemahan, walaupun terkadang mereka menempuh lngkah-langkah dengan kekerasan dan tidak sedikit membawa korban, terutama dari pihak-pihak yang berbeda haluan politik dengan mereka.  Mereka tidak sekidit menakut-nakuti orang-orang yang menentangnya bahwa mereka tidak akan mendapatkan pekerjaan dan akan dikucilkan.
Dengan usaha dan kerja kerasnya, maka masa pemerintahan Bani Saljuk bisa dikatakan sebagai periode penting dalam memperbaharui kekuatan Islam dan usaha mengembalikan wibawa khilafah ‘Abbasiah serta usaha mengatasi berbagai disintegrasi politik dan wilayah yang terjadi baik di dalam, maupun di luar dan mempersatukan kembali kekuatan dan kesatuan politik ke tangan daulah islamiah. Di samping dalam bidang politik dan militer, usaha uang dilakukan oleh Bani Saljuk juga meliputi bidang-bidang lainnya, seperti bidang keilmuan, ekonomi dan kemasyarakatan serta berbagai aspek kehidupan lainnya.
Seperti dinasti sebelumnya (Buwaihi), setelah kurang lebih satu setengah abad (447 H/ 1055 M – 590 H/ 1194 M), dinasti Bani saljukpun tidak dapat mempertahankan kekuatan dan wibawa politik.  Perpecahan dan pertentangan yang terjadi di dalam tubuh dinasti itu serta kurang hebatnya penanganan dan manajemen pemerintahan saat itu telah mengantarkannya pada posisi yang lemah, dan disintegrasi politik dan wilayah tidak dapat dihindari lagi. Dengan kondisi ini, dinasti yang telah dibangun itu mengalami kemunduran.
Demikianlah kondisi kehidupan politik secara singkat dapat dijelaskan disini pada saat hidup dan berkarirnya al-Baghdadi. Secara umum dapat digambarkan bahwa kehidupan politik yang terjadi pada masa hidupnya al-Baghdadi mengalami dinamika dan pasang surut yang cukup signifikan. Hal itu, tidak begitu besar pengaruhnya bagi kehidupan dan karir intelektual al-Baghdadi, karena ia tidak banyak terlibat dengan kegiatan-kegiatan politik.
Kehidupan ekonomi yang dialami masyarakat pada masa hidupnya al-Baghdadi berada dalam kondisi yang sangat memperihatinkan. Dalam beberapa literature dijelaskan gambaran kehidupan ekonomi masyarakat, bahwa mereka sering mengalami kekurangan pangan, kelaparan dan kerusakan yang keadaan tersebut menyebabkan terjadinya kelumpuhan ekonomi. Kondisi demikian telah membawa sebagian besar masyarakat pada keadaan yang membayakan serta tidak sedikit banyak menimbulkan kematian dan tersebarnya berbagai penyakit. Rakyat banyak menderita dan pemerintah tidak begitu banyak memperhatikanya karena terlalu sikbuk mengatasi berbagai gejolak politik.
Kondisi ekonomi yang demikian parah dan –apalagi—tidak memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat itu disebabkan oleh beberapa factor, seperti lemah dan tidak terkendalinya lagi masalah politik, lemahnya manajemen pemerintahan, borosnya pengeluaran negara untuk hal-hal yang tidak langsung berkaitan dengan kebutuhan rakyat terutama aspek ekonomi, Tidak adanya rasa aman dalam pengelolaan harta dengan sering keluarnya aturan pengurusan harta yang merugikan rakyat, banyak timbulnya bencana serta buruknya proses distribusi harta dan kegiatan ekonomi secara umum.
Kehidupan sosial kemasyarakatan juga dipengaruhi oleh kondisi poltik dan ekonomi yang terjadi saat itu. Walaupun secara umum kehidupan politik dan eknomi tidak stabil, namun di sisi lain terdapat kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang mengalami kehidupan sosial yang berbeda dengan kehidupan masyarakat pada umumnya. Mereka menurut Muhammad Ahmad Thals dapat dikelompokkan ke dalam beberapa golongan, diantaranya kelompok keluarga khalifah dan sulthan yang memiliki banyak kekayaan, kelompok orang-orang yang dekat dengan penguasa seperti hakim dan pekerja kerajaan, para pedagang besar dan pemilik tanah yang luas. Di bawah mereka ada kelompok pdagang kecil dan kelompok petani, serta yang terakhir kelompok masyarakat kebanyakan. Selain itu ada pula kelompok orang yang lebih mementingkan kegiatan ilmu dan yang bekerja dengan pekerjaan-pekerjan tertentu di luar bidang pekerjaan di lingkungan khilafah dan di luar perdagangan dan pertanian.
Tidak stabilnya kehidupan politik dan kurang bagusnya kehidupan ekonomi terutama yang dialami kalangan rakyat bawah yang merupakan mayoritas, mengakibatkan sering terjadinya keresahan sosial yang terjadi. Tidak sedikit diantara mereka yang menempuh jalan yang tidak benar dan mengakibatkan banyak munculnya penyakit-penyakit sosial yang merugikan, seperti perjudian, pencurian, pemabukan dan berbagai bentuk kemunkaran lainnya, di samping pola hidup para penguasa yang semakin jauh dari aturan moral dan akhlak mulia.  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kehidupan sosial masyarakat berpengaruh besar terhadap semakin jauhnya mereka dari batasan-batasan agama. Masyrakat banyak mengalami putus asa, saling menyalahkan satu sama lain dan munculnya berbagai macam kerusakan terutama secara mental spiritual.
Di sisi lain, disaat kehidupan politik, ekonomi dan sosial berada dalam keadaan memperihatinkan itu, kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan masalah ilmu yang dilaksanakan oleh mereka ynag bergelut dibidangnya, mengalami perkembangan yang sebaliknya. Pada saat itu tersebar berbagai majlis ilmu dan kegiatan diskusi, terutama yang membahas masalah-masalah yang terjadi ditengah-tengah negara dan masyarakat. Hal itu dilaksanakan ditengah keterbatasan kkhalifah dan lemahnya pemerintahan. Mereka banyak membahas bagaimana memperbaiki kehidupan akhlak masyarakat. Juga merekapun tidak ketinggalan membicarakan hikayat-hikayat, cerita-cerita terutama untuk menghibur diri dari keadaan yang kurang menguntungkan saat itu.

3. Karir Intelektual al-Baghdadi        
Al-Baghdadi merupakan satu orang –terutama pada zamannya—yang sangat mencintai dan bersungguh-sungguh dalam hal ilmu pengetahuan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa ayahnya telah mengarahkan dirinya terhadap ilmu dan kesungguhan mencarinya. Hal itu mengantarkan al-Baghdadi sebagai seseorang yang berhasil meniti karir intelektual berupa penguasaan beberapa bidang ilmu agama yang terlihat dengan banyak lahirnya karya-karya intelektual yang sangat berharga bagi perkembangan Islam dan kepentingan umatnya.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa walaupun pada masa hidupnya al-Baghdadi (abad lima hijriyah) kehidupan politik, sosial ekonomi negara dan masyarakat tidak begitu stabil, namun kegiatan keilmuan tetap berjalan dengan baik. Hal itu ditandai dengan banyak munculnya kegiatan keilmuan, lahirnya tokoh-tokoh ilmu yang memang jauh beberapa abad sebelumnya sudah terjadi. Al-Baghdadi adalah salah seorang tokoh yang merasakan bagusnya iklim intelektual itu, sehingga ia bisa mengembangkan diri dan karirnya dibidang ini.
Karir intelektual al-Baghdadi ini berkaitan dengan pengembaraannya dalam mencari ilmu ke berbagai daerah --termasuk pada masa terjadinya instabilitas politik daulah Bani ‘Abbasiyah abad kelima hijriyah-- dengan belajar ke beberapa orang gurunya, serta upayanya mentransformasikan ilmu itu dalam bentuk aktivitasnya mengajar di berbagai majlis ilmu. Juga dengan banyaknya orang yang menimba ilmu darinya sehingga ia tercatat memiliki banyak murid.
Al-Baghdadi belajar berbagai bidang ilmu agama kepada sejunlah orang yang menjadi gurunya yang menurut al-Thahhan jumlahnya mencapai ratusan orang. Sebagian besar adalah imam-imam hadits dan huffazh. Mereka itu diantaranya Aba Na’im al-Ashbihâni, Abâ ‘Abd Allah al-Shûry, Abu Rizqawiyah dan al-Mahâmili serta yang lain-lainnya. Adapun beberapa muridnya yang yerkenal diantaranya Ibn Ma’kul, ‘Abd al-‘Aziz al-Kittâni, Ibn al-Akfâni, Abu Ishaq al-Qusyairy, Thahir bin Sahal al-Isfirai, al-Khatib al-Tibrizi dan lain-lainnya. Al-Baghdadi sangat menghormati dan mengagungkan guru-gurunya itu, sebagaimana ia sangat perhatian dan mengasihi murid-muridnya.
Karir intelektual al-Baghdadi juga terlihat dari aktivitas keilmuannya yang berkembang seiring dengan baiknya kondisi kebebasan berpikir dan munculnya pusat-pusat aktivitas ilmu, terutama dengan berdirinya madrasah-madrasah yang dipelopori oleh pendirian madrasah Nizhamiyah oleh perdana menteri Nizham al Mulk pada tahun 450 H.  Madrasah-madrasah yang banyak muncul itu nantinya menjadi terspisifikasi dalam bentuk madrasah al-Fuqaha wa al-Muhadditsin, madrasah ‘ulama al-Kalam, madrasah al-Falasifah dan madrasah Shufiyyah. Kehadiran madrasah-madrasah tersebut memberi peluang kepada al-baghdadi untuk mengembangkan karir intelektualnya, baik sebagai pengajar, maupun sebagai penengah ketika terjadinya “konflik” intelektual diantara mereka yang berbeda pendapat, seperti yang terjadi diantara ahl al-kalam di satu pihak dengan ahl al-hadits dan fiqih di pihak lain. Selain itu, seperti dijelaskannya, bahwa ia banyak terlibat dalam upaya mencari penyelesaian perbedaan pendapat antara para fuqaha dan muhaddits, dengan memberikan penjelasan akar permasalahan dan pertentangan mereka dan membawanya pada kemashlahatan ilmu dan pemahaman yang merupakan tujuannya dalam ilmu dan agama.
Banyaknya berdiri madrasah dengan berbagai kegiatan keilmuan tersebut, menandakan bahwa kegiatan pendidikan secara umum berjalan dengan baik. Tiap-tiap madrasah memiliki tujuan dan orientasi masing-masing. Madrasah fuqaha lebih menekankan aspek fiqh, madrasah muhadditsin memiliki fokus kajiannya pada bidang hadits dan ulumul hadits, madrasah ahli kalam dengan penekanan kajian kalamnya, madrasah falasifah dengan menitik beratkan aspek pemikiran filsafatnya dan madrasah shufiyyah dengan orientasi tashawufnya. Fenomena pendidikan tersebut sedikit banyak mempengaruhi pola pikir al-Baghdadi dalam berbagai bidang keilmuan, termasuk dalam bidang pendidikan yang lebih luasnya akan terlihat dalam pembahasan berikutnya.

4. Karya-Karya Intelektual al-Baghdadi
Sebagai seorang ulama yang banyak bergelut dengan dunia keilmuan, al-Baghdadi telah menghasilkan berbagai karya intelektual dalam berbagai bidang ilmu keislaman, terutama yang lebih banyak dikenal dalam bidang hadits dan ilmu hadits. Di samping itu, ia juga menghasilkan beberapa karya intelektual dalam bidang fiqh, akhlak dan sejarah. Salah satu karya al-Baghdadi yang paling monumental dan memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi adalah Tarikh Baghdad.
Dalam karya besarnya tersebut, al-Baghdadi menjelaskan secara panjang lebar sejarah kota Baghdad dan hal-hal yang berkaitan dengannya sejak berdirinya sampai tahun 463 H. Buku sejumlah dua puluh jilid tersebut menceritakan berbagai hal yang ada di dalam kota besar itu, yaitu tentang sifat-sifat, garis-garis batasnya dan juga tentang peradabannya. Al-Baghdadi juga menceritakan orang-orang yang mewarnai dan mempengaruhi kota itu dari berbagai aspeknya, yaitu para khalifah, raja, pemimpin, menteri dan orang-orang mulia lainnya.  Juga menjelaskan manusia-manusia yang memiliki kedudukan tinggi dalam bidang keilmuan dan berjasa dalam mengembangkannya, yaitu ilmu Nahwu (al-Nuhât), Sharf (al-Sharfiyyîn), Bayan (al-Bayâniyyîn), bahasa (al-Lughawiyyîn), qiraat (al-Qurrâ), tafsir (al-Mufassirîn), hadits (al-Muhadditsîn), kalam (al-Mutakallimîn), mantiqh/ logika (al-Manthîqiyyin), Ushul (al-Ushûliyyîn), ulama yang memiliki kemampuan dan otoritas berijtihad (al-Mujtahidîn), Fiqh (al-Fuqahâ), ahli hukum/ hakim (al-Qudhât), Farâidh (al-Fardhiyyîn) dari berbagai madzhab. Ia juga mencatat dan menjelaskan  orang-orang dengan kekhususan perilaku keagamaanya, yaitu orang-orang zuhud (al-Zuhhâd), orang-orang ahli ibadah (al-Nussak), orang-orang yang bertashawwuf (al-Mutashawwifah), orang-orang yang pandai menyampaikan cerita (al-Qashshash), orang-orang yang banyak memberi nasihat (al-Wu’azh), ahli hitung/ matematika (al-Riyadhiyyin al-Hisab), ahli tehnik (al-Handasiyyin), ahli Falak (al-Falakiyyin), ahli nujum (al-Munjimin), ahli musik (al-Musiqiyyin), dokter (al-Athibba), ahli mengobati luka (al-Jarrahin), para penulis/ sekretaris (al-Kuttab), ahli menulis kaligrafi (al-Khaththathin), ahli sastra (al-Mutaaddibin), ahli berita (al-Akhbariyyin), ahli nasab (al-Nasabiyyin), ahli sejarah (al-Muarrikhin), ahli ilmu ‘Arudh (al-‘Arudhiyyin), ahli Sya’ir (al-Syu’ara), ahli menyanyi (al-Mughanin), ahli pemanah (al-Rummat) dan ahli menunggang kuda (al-Fursan).  Mereka diberitakan dengan kunyah, laqab dan nasab serta kemasyhuran pengaruhnya dan tahun wafatnya. Ia menceritakannya berdasarkan urutan adyad huruf Arab. Al-Baghdadi mengakhiri karyanya itu dengan menceritakan wanita-wanita dan amat yang masyhur karena kelembutannya.
Al-Baghdadi menjelaskan semua yang berkaitan dengan kota Baghdad tersebut melalui sanad-sanadnya, dan ia sangat berhati-hati dalam menyampaikannya. Ketelitian dan kehati-hatian al-Baghdadi dalam menyampaikan berita-berita yang sampai kepadanya tentang kota itu, membuktikan bahwa ia merupakan salah ulama penulis karya intelektual yang luar biasa. Tidak heran kalau karya besar itu banyak menjadi rujukan tokoh-tokoh lainnya dalam karya yang bernilai historis. Buku Tarikh Baghdad ini di pandang sebagai karya paling terkenal dari al-Baghdadi. Salah seorang pembahasnya Munir al-Din Ahmad menganggapnya sebagai suatu risalah keilmuan (risalah ‘ilmiyah) di sekitar sejarah yang bernilai pendidikan Islam.
Di samping menghasilkan karya yang sangat bernilai sejarah tersebut, al-Baghdadi juga masih memiliki berbagai karya lainnya, termasuk dan terutama yang memiliki nilai pendidikan. Karya-karya tersebut kebanyakan berkaitan dengan adab-adab (etika) periwayatan yang dalam substansinya memliki nilai pendidikan dan pengajaran serta mengarahkan bagaimana hal-hal yang harus dilakukan oleh seorang ‘alim dan muta’allim dalam kegiatan belajar mengajar. Beberapa karya tersebut diantaranya:
1.      Kitab Iqtidhâ al-‘ilm al-‘amal
2.      Kitab al-Jâmi’ li akhlâq al-Râwi wa adâb al-Sâmi’
3.      Kitab Syarf ashhâb al-Hadits
4.      Kitab Nashîhat ahl al-Hadits
5.      Kitab Taqyîd al-‘Ilm
6.      Kitab al-Rihlah fi thalab al-Hadits
7.      Kitab al-Faqih wa al-Mutafaqqih
Pada masanya, kitab-kitab tersebut memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan kebudayaan dan pendidikan. Keberadaannya dapat membuka gairah kegiatan ilmiah bagi ulama dan mengembangkan gerakan berpikir di kota-kota Islam. Hal itu didasarkan pada adanya penjelasan tentangberbagai metode belajar dan keterkaitan para ulama (guru) dengan muridnya. Selain itu diketahui juga melalui beberapa karya itu lembaga-lembaga  keilmuan yang tersebar pada abad kelima hijriyah itu dan berbagai lingkungan pendidikan dan majlis-majlis diskusi yang diselenggarakan oleh para ulama besar di masjid-masjid atau kampung-kampung untuk mengajarkan hadits, berdiskusi dan belajar ilmu lainnya.
Karya-karya al-Baghdadi di atas sarat dengan nilai-nilai pendidikan. Kitab Iqtidha al-‘ilm al-‘amal dapat dikatakan sebagai kitab pendidikan karena isinya menyangkut banyak aspek pendidikan dan upaya implementasinya. Al-Baghdadi dari awal hingga akhirnya membentangkan bahasan tentang pentingnya mengumpulkan ilmu dan mengamalkannya yang dapat dipandang sebagai salah satu dasar Islam, bahkan merupakan suatu keharusan membuktikan ilmu itu dalam wujud amal yang terbaik, berdasarkan asumsi bahwa mengamalkan ilmu itu merupakan salah satu asas dalam pendidikan dan pengajaran dalam Islam, karena kalau ilmu hanya untuk diketahui saja tanpa diamalkan tidak memiliki arti dalam Islam (ilmu untuk ilmu) sebagaimana yang banyak dilupakan oleh banyak pendidikan pada masa dahulu dan masa sekarang. Kitab itu juga memberikan dorongan bagi setiap orang yang belajar untuk mengamalkan ilmunya. Pada masa sekarang ini, nasihat tersebut sangat berarti bagi kita untuk membangkitkan kegiatan pendidikan yang berbekas nyata, karena kesulitan itu tidak terletak pada ilmu-ilmu dan pengetahunannya, tetapi pada adanya kemampuan untuk mengambil faedah dalam arti mengamalkan ilmu itu untuk mengembangkan berbagai potensi yang berguna bagi kehidupan kita.
Kitab Syarf  ashhâb al-hadits adalah sebuah kitab yang mengarahkan seorang mu’allim tentang tujuan mengetahui kedudukan dan aktivitasnya dalam menyebarkan ilmu dan menyampaikannya. Dalam kitab ini terdapat beberapa bahasan tentang kedudukan seorang ‘alim dan kemuliaannya, serta hal-hal yang mesti diperhatikannya berupa etika dan akhlak yang sesuai dengan nilai-nilai agama. Adapun kitab Nashihat ahl al-hadits pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan kitab Syarf ashhâb al-hadits. Di dalamnya dijelaskan sebab-sebab cacatnya muhadditsin berupa kurang baiknya pemahaman terhadap apa yang mereka kumpulkan. Hal ini merupakan ajakan untuk mempertajam pemahaman dan menggunakan pikiran serta kedalaman dalam memahami nash-nash agama dan upaya istinbath al-ahkam. Dengan kitab ini, al-Baghdadi juga memberikan cara mengupayakan perbaikan sebagian prinsip-prinsip pendidikan seperi pengajaran bagi orang dewasa dan pengaruh kondisi masyarakat terhadap pendidikan.
Dalam kitab al-Rihlah fi thalab al-hadits al-Baghdadi menjelaskan pentingnya upaya melakukan perjalanan dalam mencari ilmu. Hal itu menurutnya merupakan salah satu sarana belajar yang sangat ditekankan oleh para ahli hadits dan ahli pendidikan. Adapun kitab Taqyîd al-‘ilm merupaka sebuah ajakan kepada para pencari ilmu untuk selalu membaca, memperdalam pemahaman dan mempelajarinya, sebagaimana hal itu merupakan ajakan juga kepada para ulama untuk memperkuat ilmu mereka agar bermanfaat di setiap tempat dan waktu.
Kitab al-Jâmi’ li akhlaq al-Râwi wa adab al-Sâmi’ dipandang sebagai kitab bernuansa pendidikan paling penting dari al-Baghdadi, walaupun –terutama dari segi judulnya—lebih berkaitan dengan orang-orang yang terlibat dalam tahammul wa al adâ li al-hadits.  Hal itu terlihat dari berbagai isyarahnya tentang hal-hal yang harus diperhatikan oleh para pendidik dan anak didik yang dalam hal ini dinisbahkan kepada seorang rawi hadits dan gurunya.
Kitab al-Faqih wa al-Mutafaqqih merupakan kitab ushul al-fiqh terpenting karya al-Baghdadi. Walaupun hampir dua pertiga kitab itu membahas tentang ushul fiqh, namun dalam sepertiganya ia membahas sisi lain hal yang harus diperhatikan oleh seorang ‘alim dan muta’allim dan etika-etika belajar serta keharusan mengamalkan ilmu dengan mengikuti suri tauladan yang baik (qudwah hasanah). Dalam kitab ini, al-Baghdadi membicarakan beberapa sumber pendidikan dalam pandangannya, yaitu al-quran al-karim, al-sunnah al-nabawiyyah, al-ijma’ dan al-qiyas.
Mengakhiri bahasan sekitar biografi al-Baghdadi ini, perlu disampaikan tentang wafatnya al-Baghdadi. Ia wafat pada hari senin, tanggal tujuh bulan Dzulhijjah tahun 463 H di Baghdad. Ia dikuburkan di dekat salah seorang ulama terkenal yaitu Basyar bin al-Hârits al-Hâfi.. Dengan wafatnya al-Baghdadi Mahmud al-Thahhan mengatakan bahwa buku-buku ilmu yang sangat berharga dan karangan yang bernilai telah tertutup dan umat Islam kehilangan seorang tokoh yang sangat memperhatikan khazanah ilmu-ilmu keislaman, terutama ilmu hadits. 

2 komentar: