1. Kehidupan dan Kepribadian
al-Ghazali
Al-Ghazali
memiliki nama lengkap Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thûsî.
Ia lahir di daerah Thus sebuah kota di Khurasan, Persia tahun 450 H/ 1058 M.
Ayahnya seorang pemintal wool yang selalu memintal dan menjualnya sendiri di
kota itu. Dalam melafalkan namanya, terdapat dua pendapat. Ada yang mengtakannya dengan
ungkapan al-Ghazzali –dengan tasydid huruf zaynya dan dibaca panjang—yang
merupakan nisbah kepada al-Ghazzal. Ada juga yang mengatakannya dengan
al-Ghazali –dengan dibaca ringan huruf zaynya. Dengan demikian perkataan yang berkaitan dengan nama itu memiliki dua nisbah, yaitu
terhadap pekerjaan membuat kain wool (al-Ghazzal) dan nisbah kepada Ghazalah
sebuah kampung di daerah Thus bagi orang yang membacanya dengan dibaca ringan
hurup zaynya.
Ayah
al-Ghazali bernama Muhammad. Ia sangat menaruh perhatian pada pendidikan anak-anaknya.
Ia tidak ingin kedua anaknya –Ahmad dan al-Ghazali—miskin dari ilmu seperti
keadaannya. Oleh karena itu, menjelang akhir hayatnya ia menitipkan kedua
anaknya kepada sahabatnya untuk dididik sampai habis harta warisannya. Sang
ayah meninggal dunia ketika al-Ghazali masih kecil. Setelah itu ia dididik oleh
ibunya. Kasih sayang ibunyalah yang mendorongnya untuk menuntut ilmu kepada
sahabat ayahnya. Sesuai dengan pesan, sahabat ayahnya mendidik al-Ghazali
dan saudaranya sampai habis harta
warisannya, dan berhasil melaksanakan tugasnya dengan memberikan bekal imlu
kepada al-Ghazali dan saudaranya terutama ilmu tashawuf. Dalam sejarah, kedua putra Muhammad itu menjadi alim besar. Al-Ghazali dengan
julukan Hujjat al-Islam, Zain al-Din dan Mujaddid, sedangkan Ahmad
dengan julukan Majid al-Din.
Di
samping ayahnya menaruh perhatian terhadap pendidikan anak-anaknya, al-Ghazali
sendiri memiliki kecerdasan yang luar biasa disertai dengan bakat dan minatnya.
Bakat dan minatnya kelihatan pada kemauannya yang kuat untuk belajar dan
kecintaannya pada ilmu. Dalam sejarah pendidikan dan pengembaraan
intelektualnya, kelihatan pula kebesaran bakat dan minatnya pada pendidikan.
Hal
tersebut terbukti setelah dilepas oleh sahabat ayahnya, ia langsung menjalankan
pesan gurunya untuk tetap menuntut ilmu sesuai dengan kemampuan yang ada.
Kehausannya untuk mencari ilmu ia gambarkan dalam salah satu karyanya
al-Munqidz min al-Dhalal, dimana menurutnya bahwa kehausannya untuk mencari
hakikat kebenaran merupakan anugrah dari Allah SWT. Atas dorongan itulah al-Ghazali melakukan pengembaraan dari mulai jarak yang
dekat sampai yang jauh untuk mencari ilmu.
Pada
mulanya ia berguru kepada Ahmad bin Muhammad al-Râdzikani di Thus sampai
usia belasan tahun. Dengan al-Radzikani ia belajar fiqh. Sesudah itu ia mulai
merantau untuk menuntut ilmu di daerah Jurjan kepada Abu Nashr al-Isma’ili.
Setelah selesai belajar di Jurjan, ia kembali lagi ke Thus untuk menetap selama
tiga tahun. Waktu kepulangannya kembali ke Thus, ia pergunakan untuk
mempelajari tashawuf dan memperaktekkannya di bawah bimbingan Yusuf al-Nassaj.
Selanjutnya dalam usia dua puluh tahun, ia pergi belajar ke Naisabur, berguru
kepada Abu al-Ma’ali ‘Abd al-Malik Ibn Abi Muhammad al-Juwaini, Imam
al-Haramain, seorang ulama terkenal di madrasah Nizham al-Muluk. Di madrasah
itu ia mempelajari teologi, filsafat, hukum, logika, retorika, ilmu pengetahuan
alam dan tashawuf. Dalam belajar, ia terkenal rajin dan pintar, sehingga dalam
waktu yang singkat ia memperlihatkan kemampuannya sebagai seorang ‘alim yang
cemerlang. Tak heran kalau guru dan teman-temannya sangat mengaguminya, dan
gurunya sendiri menggambarkannya sebagai seorang alim yang luas dan dalam
ilmunya serta pintar dalam mengamalkannya. Walaupun demikian ia tetap menaruh
hormat pada gurunya dan tidak menampakkan sedikitpun kesombongan.
Selain
memiliki kecerdasan dan kemampuan intelektual yang hebat, al-Ghazali juga
dikenal memiliki kepribadian yang sangat baik. Ia adalah seorang yang memiliki
akhlak yang terpuji. Segala tutur kata dan perbuatannya selalu menyejukkan
orang lain. Ia tidak keras, tetapi tegas dan teguh pendirian, walaupun
–sebagaimana disebutkan dalam berbagai literatur—ia sempat berada dalam
masa-masa kebimbangan dan keraguan terutama berkaitan dengan usahanya mencari
kebenaran hakiki pada saat ia bersentuhan dengan filsafat dan teologi. Ia
adalah seorang yang tekun beribadah dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan. Ia
memiliki sifat-sifat terpuji seperti sabar, tawakkal, qanaah dan lain-lain. Ia
bukan seorang yang cepat atau suka marah, tetapi ia mampu mengendalikan dirinya
apabila menghadapi masalah.
Al-Ghazali
sangat memperhatikan dan menekankan usaha pembentukan kesalehan individu dengan
menempuh jalan tashawwuf melalui bentuk-bentuk pengamalan latihan spiritual (maqamat) dan selalu menjaga kondisi
kejiwaannya dengan senantiasa berserah diri kepada Yang Maha Kuasa (ahwal).Tujuannya tiada lain supaya bisa
dekat kepada Allah dengan sedekat-dekatnya, lebih jauh lagi bisa mencapai
derajat musyahadah dan ma’rifat kepada-Nya. Ia mempraktekkan hidup zuhud dan
menekankan pengamalan pola hidup ini, agar dalam menjalankan amaliah ibadah
kepadanya benar-benar bisa istiqamah tanpa banyak gangguan. Namun hal itu buka
berarti ia melarang untuk memiliki dunia.
Al-Ghazali
sangat menekankan agar manusia senantiasa menjaga kebersihan hati atau
ruhaninya. Karena dengan keadaan itulah seseorang bisa melaksanakan ajaran
Allah secara sempurna dan bisa melahirkan perilaku yang terpuji. Melalui jalan
dan metode tashawuflah hal itu bisa tercapai. Dengan mengutip penjelasan
al-Ghazali tentang pentingnya upaya menjaga kesucian hati (qalbu) sebagai salah
satu cara bertashawuf ini, Riva’i Siregar mengatakan:
“Inti Tashawuf al-Ghazali adalah jalan menuju Allah atau
ma’rifatullah. Oleh karena itu, serial al-maqamat dan al-ahwal pada dasarnya
adalah rincian dari metode pencapaian pengetahuan mistis. Menurut al-Ghazali,
sarana ma’rifat seorang sufi adalah qalbu, bukan perasaan dan tidak pula akal
budi. Dalam konsepsi ini, qalbu bukanlah segumpal daging yang terletak pada
bagian kiri dada manusia, tetapi ia merupakansemacam radar dan sebagai daya dan
pletikan ruhaniah ketuhanan, dan dialah hakikat realitas manusia. Qalbu
bagaikan cermin, sementara ilmu adalah
pantulan gambar realitas yang termuat di dalamnya. Maka jika qalbu yang
berfungsi sebagai cermin tidakbening, maka tidak akan dapat memantulkan
realitas-realitas ilmu. Supaya qalbu bisa selalu bening, caranya hanya dengan
jalan ketaatan kepada Allah dan kmampuan menguasai hawa nafsu.”
Di samping pentingnya membentuk
kesalehan individu melalui latihan spiritual dengan fokus kesucian qalbu,
al-Ghazali juga memiliki kepribadian yang sangat memperhatiakn keadaan
masyarakatnya. Ia menekankan pentingnya membangun masyarakat yang sesuai dengan
ajaran Islam. Masyarakat yang utama akan terwujud apabila semua anggotanya
memiliki akhlak yang terpuji. Melalui perjalanan keilmuan yang kemudian
dipraktekkan dalam bentuk amaliah ibadah denga bingkai riyadhah (latihan
spiritual), kita melihat bahwa kehidupan al-Ghazali dari mulai kecil sampai
dewasanya, bahkan sampai nanti
meninggalnya, tidak terlepas dari ilmu dan amal. Hal ini merupakan satu
suri tauladan bagi semua orang. Bagi seorang muta’allim, ia memberi contoh
bagaimana bahwa dalam menuntut ilmu harus memiliki kesungguhan dan ketabahan
yang didasari niat yang ikhlas. Kecerdasan yang didukung ketekunan dalam
belajar menjadikannya seorang muta’allim yang berhasil dalam belajarnya. Ia
menguasai berbagai disiplin ilmu agama. Bagi seorang ‘alim, ia merupakan
tauladan dalam hal mengamalkan ilmunya. Ia tidak susah untuk mengajrakan
ilmunya kepada semua orang. Ia mengajar dengan penuh keikhlasan dan kesabaran.
Tidak hanya dengan cara mengajar, ia mengajarkan ilmunya dengan menuliskannya
dalam berbagai karyanya sebagaimana yang akan terlihat nanti pada bagian
berikutnya.
Walaupun kehidupan dan pengembaraan
hidupnya –terutama pengembaraan intelektual dan spiritualnya—penuh dengan liku,
namun al-Ghazali dapat dikatakan berhasil dalam menjalankan misi hidupnya
sebagai seorang hamba yang dalam banyak hal diakui dan dijadikan teladan oleh
umat manusia sampai sekarang. Ia dapat memberikan sumbangan yang besar bagi
pengembangan agama dan pendidikan umatnya, khususnya dalam hal pembentukan
akhlak yang mulia, terutama pada masanya, dimana pada masa itu ia menyaksikan
kemerosotan akhlak yang dialami hampir semua lapisan masyarakat. Perjalanan
hidup al-Ghazali diakhir dengan wafatnya ia pada pada tahun 505 H/ 1111 M di
kota kelahirannya sendiri (Thus). Ia meninggal setelah melakukan satu
perjuangan besar bagi umat manusia yang sangat tinggi nilainya khususnya dalam
bidang ilmu dan akhlak.
2. Kondisi
Sosial Budaya Masyrakat Masa al-Ghazali
Berbicara
tentang kondisi suatu masyarakat pada suatu masa, termasuk masa hidupnya
al-Ghazali akan memberikan gambaran tentang keadaan yang mempengaruhi pola
pikir dan kehidupannya. Al-Ghazali hidup pada abad kelima hijriyah dengan
berbagai keadaan dan dinamika politik, sosial budaya masyrakat dan negara yang
terjadi pada saat itu.
Dalam
perspektif sejarah, pada abad kelima hijriyah, dunia Islam di mana al-Ghazali
hidup berada di bawah kekuasaan dinasti Bani Abbasiyah. Masa kehidupan
al-Ghazali masih berada dalam periode klasik dari sejarah Islam. (650 – 1250
M). Sungguhpun demikian, tahun kelahiran dan masa kehidupannya tidak lagi
berada dalam masa kemajuan Islam periode pertama, akn tetapi sudah berada dalam
masa kemunduran atau disintegrasi dari periode sejarah Islam. Dalam masa disintegrasi ini, kekuatan sosual
politik umat Islam di bawah pimpinan dinasti Abbasiah sudah sangat mundur dan
lemah. Berpeluh-puluh tahun sebelum kelahiran al-Ghazali, para khalifah
Abbasiah sudah banyak kehilangan kekuatan otoritas politiknya dan sudah berada
di bawah tekanan para tentara pengawal dan dominasi dinasti Bani Buwaihi
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Berakhirnya
dinasti Buwaihi tahun 447 M/1094 M dan naiknya dinasti Bani Saljuk sebagai
pemegang kendali politik dengan mengendalikan para khalifah Abbasiah, menandai
babak baru kehidupan politik Abbasiah oleh rejim yang berhaluan sunni. Dengan
demikian, al-Ghazali hidup dalam atmosfir politik di bawah kekuasaan Bani
Saljuk.
Berkuasanya
dinasti Saljuk atas kekhalifahan Baghdad selama 139 tahun (1055 – 1149 M),
hanya mampu mengatasi masalah umat selama tiga puluh tujuh tahun dari awal
kekuasaannya. Masa tiga puluh tahun tersebut dapat dikatakan sebagai masa
kemajuan dinasti Saljuk dalam politik dan pemerintahannya. Kemajuan dalam arti
terkendalinya situasi politik, keamanan dan ketertiban masyarakat dan dapat
berkembangnya ilmu dan budaya, serta rakyat dapat merasakan ketenangan dan
ketentraman dalam hidupnya.
Setelah
beberapa puluh tahun tersebut, situasi politik mulai menandakan tanda-tanda
tidak stabil. Banyaknya pihak-pihak yang merasa disingkirkan oleh bani Saljuk
ini, lambat laun menimbulkan benih-benih permusuhan dan pembangkangan terhadap
khalifah dan dinasti itu. Banyak diantara para penentang pemerintah melakukan
upaya-upaya untuk menimbulkan kekacauan di tengah-tengah masyarakat. Dalam
kehidupan masyarakat sendiri, keamanan dan ketertiban kembali kacau. Kekacauan
tersebut bermula dari peristiwa terbunuhnya Perdana Menteri Nizham al-Muluk dan
mangkatnya Sultan Malik Syah. Dengan tiadanya kedua orang kuat dinasti Bani Saljuk
ini, para simpatisan Dinasti lain yang berada sebagai opsisi keras seperti
dinasti Ghazwani, Khawarizmi, Ghuz dan golongan Syi’ah semakin leluasa
melancarkan serangan mereka dan menimbulkan kekacauan di masyarakat. Sampai akhir sejarahnya, dinasti Saljuk tidak
mampu menjaga stabilitas politik pemerintahan dan memulihkan keamanan serta
ketertiban bagi rakyatnya yang banyak diakibatkan oleh serangan yang datang
dari luar. Dalam pada itu, di dalam tubuh dinasti saljuk sendiri terjadi pula
perang saudara yang dilancarkan oleh keturuna Nizhâm al-Muluk. Perang tersebut
berlangsung bertahun-tahun lamanya dan berakhir dengan politik pelumpuhan
kekuasaan Saljuk, yaitu terpecahnya dinasti itu kepada dinasti-dinasti kecil
dan berujung pula kepada kehancuran dinasti Saljuk sendiri.
Dalam
keadaan dinasti Saljuk yang sudah mundur dan lemah kekuasaan politiknya dan
terganggunya keamanan dan ketertiban serta diliputi oleh perang saudara,
al-Ghazali hidup dan berjuang menegakkan kembali nilai-nilai Islam dan
menghidupkan kembali jiwa agama dalam diri umat Islam.Dengan demikian, tidak
heran kalau keadaan tersebut turut memberi pengaruh terhadap corak pemikiran
al-Ghazali termasuk dalam bidang pendidikan.Yang jelas, waktu itu ia hidup dan
berjihad dalam kondisi umat sudah mundur terutama dalam bidang politiknya.
Dalam
bidang ekonomi, pada masa hidup al-Ghazali kehidupan masyarakat bertumpu pada
bidang perdagangan, pertanian dan keterampilan. Pada awal-awal pemerintahan
dinasti Saljuk, kehidupan ekonomi masyarakat –termasuk masalah
perdagangan—mendapat perhatian. Di samping menata kembali kehidupan politik
setelah terjadinya instabilitas politik yang diakibatkan hancurnya dinasti
Buwaihi, Kehidupan ekonomi masyarakat mendapat perhatian dari penguasa.
Perdagangan yang sebelumnya banyak dikuasai oleh orang-orang yahudi, nasrani
dan kelompok lainnya, kedatangan bani Saljuk membawa perubahan dalam hal ini,
di mana kaum muslimin mulai mengambil peran dan bersama kelompok-kelompok lain
tersebut menjalankan kegiatan perdagangan. Mereka tidak memandang rendah
profesi tersebut, seperti pandangannya terhadap pertanian. Perdagangan darat
dan laut muali ramai, terutama yang terjadi di Baghdad, Bashrah, Sairaf, Kairo
dan Iskandariah. Kegiatan perdagangan ini sampai ke wilayah lain di bagian
timur. Barang utama perdagangan saat itu adalah sutra, sehingga terciptalah
satu jalur perdagangan yang dalam sejarah dikenal dengan jalur sutra yang
besar.
Karena komoditi perdagangan sebagian besar berupa barang-barang kebutuhan dan pakaian, maka banyak tumbuh tempat-tempat pembutannya atau tempat-tempat produksinya. Di berbagai daerah terdapat tempat-tempat pembuatan barang-barang komoditi perdagangan, seperti kain, sutra, alat-alat rumah tangga, perabot dapur dan lain-lain. Daerah kufah terkenal dengan kain sutra terutama dalam bentuk sapu tangan, daerah Persi terkenal dengan peralatan dari emas, daerah Syam terkenal dengan alat-alat berbur dan barang-barang dari kaca Di samping itu, berbagai kegiatan pembuatan
Selain
dua bentuk kegiatan ekonomi di atas, bidang pertanian juga merupakan salah satu
garapan sebagian penduduk. Hal ini dikarenakan banyak daerah yang tanahnya
subur dan cocok untuk pertanian, ditunjang oleh system pengairan yang cukup
bagus. Salah satu daerah yang bernama Fawadi Dajlah dianggap sebagai daerah
yang paling subur. Kegiatan pertanian tersebut menghasilkan berbagai macam
buah-buahan dan sayur-sayuran yang sebagiannya menjadi barang dagangan yang
sangat laku saat itu. Dengan demikian, pada saat-saat awal dinasti Saljuk
berkuasa kehidupan ekonomi masyarakat cukup bagus, seiring dengan stabilnya
situasi politik saat itu dan kondusipnya keamanan dan ketertiban.
Setelah
berlangsung beberapa dekade, seiring dengan mulai munculnya peraturan-peraturan
baru yang kurang menguntungkan rakyat seperti pemilikan tanah rakyat oleh
negara, maka keadaan ekonomi rakyat terutama sector pertanian mulai mengalami
kemunduran. Keadaan diperparah lagi dengan sering munculnya gangguan keamanan yang
dilancarkan oleh musuh-musuh pemerintah serta sering terjadinya perang baik
dengan pemberontak maupun dengan wilayah lain dan timbulnya berbagai fitnah dan
bencana di dalam negara, maka kegiatan ekonomi rakyat secara keseluruhan mengalami
kegoncangan. Rakyat mulai merasakan kesusahan-kesusahan, dan tidak sedikit yang mengalami
kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Pertentangan
yang terjadi di kalangan pemerintahan, terutama tentang masalah-masalah
politik, ditambah dengan meninggalnya dua petinggi dinasti Saljuk mengakibatkan
kondisi negara semakin tidak stabil. Hal ini berimbas pada semakin merosotnya
kondisi ekonomi rakyat. Keadaan tersebut lambat laun mempengaruhi kehidupan
masyarakat yang sudah semakin kehilangan kepercayaan kepada pemerintah, dan di
berbagai daerah banyak timbul pemberontakan untuk memerdekaan daerahnya dari
kekuasaan Baghdad, apalagi kondisi pemerintah pusat yang lemah karena adanya
berbagai pretentangan.
Dalam
bidang kebudayan dan pendidikan, pada masa dinasti Saljuk ini telah lahir
tradisi-tradisi budaya dan ilmu yang cukup positif. Orang-orang yang
mengkhususkan diri menggeluti dunia ilmu dan tidak banyak terlibat dalam
masalah-masalah politik, pada awal-awal berdirinya dinasti Saljuk bisa menikmati
kebebasan untuk mengekspresikan kreativitas keilmuannya. Kebebasan berpikir dan
berpendapat yang memang sudah tercipta sebelumnya, telah melahirkan berbagai
kelompok yang memiliki orientasi keilmuan, terutama setelah didirikannya
berbagai tempat belajar dan diskusi, apalagi setelah berdirinya madrasah
Nizhamiah.
Pada
saat terciptanya kestabilan politik dan ekonomi, kegiatan keilmuan bergerak
maju dengan dipeolpori oleh kelompok-kelompok keilmuan tadi yang memiliki
tujuan dan orientasi masing-masing, seperti kelompok Isma’iliah, Shufiyah,
Falasifah, Fiqhiyyah dan lain-lain. Tersebarnya pendirian madrasah ikut mendukung semakin semaraknya kegiatan
keilmuan, terutama di kalangan-kalangan tertentu dengan bidang kajian yang
beragam baik ilmu-ilmu naqliyah, maupun ilmu-ilmu ‘aqliyah, seperti fiqh, ushul
fiqh, hadits dan ulum al hadits, ulum al-quran, filsafat, kedokteran, sejarah
dan ilmu Kalam dan bahasa Arab dengan ilmunya.
Namun
seiring dengan merosotnya kehidupan politik pemerintahan dan merosotnya ekonomi
rakyat, kebanyakan masyarakat mulai tidak memperhatikan lagi masalah-masalah
selain yang berkaitan dengan upaya mereka mempertahankan hidup dari kekurangan
pangan. Mereka terjebak pada kehidupan yang mulai jauh dari aturan-aturan etika
religius dan akhlak al-karimah. Kegiatan keilmuan hanya dilakukan oleh
orang-orang tertentu dan mereka yang secara ekonomi masih memiliki kecukupan.
Di
sisi lain, berkembangnya arus kebebasan membawa implikasi pada munculnya
pertentangan diantara kelompok-kelompok yang berbeda paham dan orientasi
keagamaannya secara tajam. Disamping berbagai dampak positif yang
dirimbulkannya, kebebasan itu ternyata menyebabkan timbulnya perselisihan
diantara kamum muslimin dalam bingkai akidah, politik dan fiqh. Perbedaan dan pertentangan
itu disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranya sikap fanatik kesukuan,
pertentangan khilafah, berdekatannya kaum muslimin dengan kebanyakan penganut
agama lain yang sudah terlebih dahulu adanya dan masuknya sebagian mereka
kedalam Islam, penerjemahan karya-karya filsafat, terlalu dipermasalahkannya
hal-hal yang terlalu dalam, atau –bahkan—karena keberadaan ayat-ayat
mutasyabihat dalam al-quran dan istimbath hukumnya. Secara umum, menurut Abu
zahrah, kaum mslimin yang terlibat pertentangan itu bisa dikelompokkan kedalam
tiga kelompok besar, yaitu madzhab politik, aqidah dan fiqh.
3. Karir Intelektual Imam al-Ghazali
Yang
dimaksud dengan karir intelektual al-Ghazali di sini adalah perjalanan
al-Ghazali dalam menuntut ilmu dan lebih lanjut mengamalkannya dalam berbagai
bentuk kegiatan pendidikan dalam arti transformasi ilmu, baik melalui lembaga
resmi, maupun secara pribadi. Pada bagian sebelumnya, sebagian sudah diuraikan
riwayat hidup al-Ghazali termasuk yang berkaitan dengan kegiatan mencari ilmu
walaupun dalam bentuk yang sangat singkat.
Salah
satu hal yang berkaitan dengan karir intelektual al-Ghazali adalah banyaknya
orang yang menjadi gurunya dalam berbagai bidang ilmu. Al-Ghazali telah belajar
kepada banyak guru sejak kecil sampai dewasa, bahkan sampai sebelum ia
menjelang menjadi guru besar di madrasah Nizhamiyah. Diantara guru-guru
al-Ghazali yang terkenal ialah:
1.
Ahmad bin
Muhammad al-Thûsi, Abu Hamid al-Radzikâni
2.
Abu
al-Ma’âli ‘Abd al-Malik bin ‘abd Allah Yusuf bin Muhammad al-Juwaini
3.
Abi Sahal
Muhammad bin ‘Abd Allah al-Hafshî
4.
Abi
al-Fityân ‘Umar bin Abi al-Hasan al-Rawâsi al-Dihsatâni
5.
Abu ‘ali
al-Fadhl bin Muhammad al-Fâramadi al-Kharasâni
6.
Abu Thâlib
Muhammad bin ‘ali bin’ Athiyah al-Hâritsi al-Makky
7.
Abu ‘Abd
Allah al-Hâritsi bin Asad al-Mahâsibi
8.
Abu
al-qâsim al-Junaidi bin Muhammad ibn al-Junaidi al-Khazari
9.
Dalf bin
Jahdar al-Syibli
10. Thaifur bin ‘Isa bin Adam bin ‘Isa bin ‘ali
al-Busthâmi
Dari bebrapa
nama tersebut kebanyakan adalah guru al-Ghazali dalam bidang tashawuf, dan
memang al-Ghazali lebih banyak dikenal sebagai seorang shufi, walaupun
sebenarnya ia menguasai juga berbagai bidang lainnya, seperti fiqh dan ushul
fiqhnya, hadis, teologi dan filsafat. Al-Ghazali lebih dikenal sebagai seorang
shufi karena setelah melakukan pengembaraan intelektual dan spiritual yang
dalam perjalanan panjang tersebut ia sempat mengalami kebimbangan, maka
akhirnya ia memilih tashawuf sebagai pijakan utama dalam mencari dan menemukan
kebenaran. Ia pernah menyerang para filosof yang bahkan dalam beberapa hal
menaganggap kufur karena beberapa pendapatnya dianggap keluar dari ajaran
al-quran.
Secara lebih kongkrit, karir intelektual al-Ghazali mulai terlihat sebenarnya sewaktu ia masih menuntut ilmu. Pada saat yang bersamaan, ia banyak mengajarkan ilmunya kepada teman-temannya, karena teman-tem,annya mengakui bahwa al-Ghazali merupakan salah seorang yang memiliki berbagai kelebihan dibidang keilmuan. Al-Ghazali sudah menjadi dosen pada saat ia masih sebagai mahasiswa.
Secara lebih kongkrit, karir intelektual al-Ghazali mulai terlihat sebenarnya sewaktu ia masih menuntut ilmu. Pada saat yang bersamaan, ia banyak mengajarkan ilmunya kepada teman-temannya, karena teman-tem,annya mengakui bahwa al-Ghazali merupakan salah seorang yang memiliki berbagai kelebihan dibidang keilmuan. Al-Ghazali sudah menjadi dosen pada saat ia masih sebagai mahasiswa.
Setelah
berakhir sejarah al-Ghazali sebagai pelajar, maka mulai pulalah babak baru dari
sejarah pendidikan dan karir intelektualnya. Waktu di madrasah Nizham al-Muluk
ia sudah dipercaya oleh Imam Haramain sebagai pembantu (asisten)nya. Akan
tetapi karirnya dibidang ini baru menanjak setelah ia perki ke ‘Askar. Kota
‘askar merupakan tempat kediaman perdana menteri Nizham al-Muluk,
pembesar-pembesar kerajaan, pemimpin dan ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di
“askar ia pernah diundang untuk berdiskusi ilmiah dengan sekelompok ulama di
hadapan perdana menteri. Di dalam diskusi itu, perdana menteri melihat keluasan
dan kedalam ilmu al-Ghazali disbanding dengan ulama yang lainnya. Setelah
penampilannya yang baik itu, perdana menteri menaruh simpati kepadanya. Ia
disambut dan diberi penghargaan sebagai alim yang dihormati. Di istana ia
diberi kehormatan untuk memberi pengajian dua mingguan kepada para pembesar
kerajan Saljuk. Pengajian itu tidak saja bermanfaat bagi para pembesar
kerajaan, tetapi juga bagi masyarakat Islam pada umumnya, karena hasil pengajian
tersebut disebar luaskan.
Pada tahun 481
H/ 1091 M, al-Ghazali diserahi tugas mengajar pada Jami;ah (universitas) yang
didirikan Nizhâm al-Muluk di Baghdad. Tahun 484 H/ 1094 M ia diangkat sebagai
guru besar dalam bidang syari’ah Islam pada ja,I’ah Baghdad tersebut, padahal
usanya saat itu masih sangat muda, tiga puluh empat tahun. Setelah menjadi
guru, ia diserahi jabatan sebagai pimpinan jami’ah tersebut.
Dalam
melaksanakan tugasnya sebagai guru besar dan pimpinan (rektor), al-Ghazali
memperoleh sukses. Sukses tersebut antara lain diperolehnya berkat
kepemimpinannya yang baik dan kepintarannya dalam mengamalkan ilmu. Ia dikagumi
oleh para mahasiswa, ulama, pimpinan dan pembesar dinasti Saljuk. Sukses yang
diraihnya itu menarik simpati dan perhatian para pembesar dinasti Saljuk untuk
meminta nasihatnya dalam masalah agama dan negara. Sejak itu mulailah ia
berpengaruh dalam dinasti saljuk.
Pengaruh
al-Ghazali pada masa kekuasaan raja Malik Syah atau masa pemerintahan Nizhâm
al-Muluk sebanding dengan pengaruh yang didapat oleh para pembesar istana
lainnya, bahkan lebih. Ia dapat mempengaruhi jalannya pemerintahan menurut
aliran pikirannya, serta ikut menentukan kebijakan dibidang agama, pendidikan,
budaya dan politik. Ia semakin berpengaruh dalam dinasti, sehingga tidak ada
satupun urusan negara yang dapat diputuskan tanpa persetujuannya. Ia merupakan
guru istana dan mufti besar yang hidup di bawah perlindungan penguasa-penguasa
keluarga Saljuk.
Berdasarkan
uraian di atas, karir intelektual al-Ghazali tidak bisa lepas dari dunia
pendidikan, terutama yang berkaitan dengan pembinaan akhlak. Al-Ghazali telah
memainkan peranan yang sangat penting bagi pembentukan kesadaran spiritual para
penguasa Saljuk, masyarakat muslim saat itu dan bahkan sampai sekarang juga.
Walaupun demikian, kebesaran dan karir intelektual al-Ghazali tesebut, tidak
membuatnya merasa mendapatkan segala-galanya.
Ia tetap merasa belum dapat menemukan jalan yang sebenarnya untuk
mencari dan menemukan kebenara yang hakiki. Setelah beberapa tahun mengajar dan
menjadi pimpinan di Baghdad, ia pergi meninggalkan Baghdad untuk menunaikan
ibadah haji dan melanjutkan perjalanan ke Syam. Setelah itu ia kembali lagi ke
daerah asalnya yaitu daerah Thus untuk menjalani kehidupan baru melalui jlan
tashawwuf yang diyakininya merupakan jalan terbaik menemukan kebenaran sampai
terus melaksanakan kegiatan mengajarnya.
4. Karya-Karya Intelektual al-Ghazali
Sebagai
seorang ‘alim yang luas dan variasi ilmunya, al-Ghazali telah menghasilkan
berbagai karya intelektual yang sangat berharga bagi perkembangan Islam dan
umatnya. Karya-karya itu tidak hanya menyangkut satu bidang ilmu saja, tetapi
berbagai bidang ilmu yang pernah dipelajari dan diajarkannya lagi, baik sewaktu
mengajar di madrasah Nidzâm al-Muluk maupun di luar itu.Karya al-Ghazali
jumlahnya sangat banyak. Diantara karya-karyanya itu adalah:
a.
Kelompok filsafat dan ilmu Kalam, yang meliputi:
1.
Maqashid
al-Falasifah
2.
Tahafut
al-Falasifah
3.
Al-Iqtishad
fi al-I’tiqad
4.
Al-Munqidz
min al-Dhalal
5.
Al-Maqashid
al-Asna fi Ma’ani Asma Allah al-Husna
6.
Faishal
al-Tafriqah bani al-Islam wa al-Zindiqah
7.
Al-Qishash
al-Mustaqim
8.
Al-Mustadhri
9.
Hujjat
al-Haq
10. Mufshil al-Khilaf fi Ushul al-Din
11. Al-Muntaha fi ilm al-Jadal
12. Al-Mazhnun ala ghair ahlih
13. Mahk al-Nazhr
14. Asrar ilm al-Din
15. Al-Arba’in fi Ushul al-Din
16. Iljam al-Awwam min ‘Ilm al-Kalam
17. Al-Qaul al-Jamil fi al-Radd ‘ala man Ghayyara
al-Injil
18. Mi’yar al-‘Ilm
19. Al-Intishar
20. Itsbat al-Nazhr
b. Kelompok Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh,
yang meliputi:
1.
Al-Basith
2.
Al-Wasith
3.
Al-Wajiz
4.
Khulashat
al-Mukhtashar
5.
Al-Mustashfa
6.
Al-Mankhul
7.
Syifa
al-‘alil fi al-Qiyas wa al-Tawil
8.
Al-Dzari’ah
ila makarim al-Syari’ah
c. Kelompok Ilmu Akhlak dan Tashawuf,
yang meliputi:
1.
Ihya ‘Ulum
al-Din
2.
Mizan
al-‘Amal
3.
Kaimiya
al-Sa’adah
4.
Misykat
al-Anwar
5.
Minhaj
al-‘Abidin
6.
Al-Darar
al-Fakhirah fi Kasyf ulum al-Akhirah
7.
Al-‘Ainis
fi al-wahdah
8.
Al-qurbah
ila Allah ‘Azza wa jalla
9.
Akhlaq
al-Abrar wa al-Najat min al-Asrar
10. Bidayat al-Hidayah
11. Al-Mabadi wa al-Ghayah
12. Talbis al-Iblis
13. Nasihat al-Mulk
14. Al-‘Ulum al-Laduniyyah
15. Al-Risalah al-Qudsiyyah
16. Al-Ma’khadz
17. Al-Amali
d. Kelompok Ilmu Tafsir yang meliputi:
1.
Yaqut
al-Tawil fi Tafsir al-Tanzil
2.
Jawahir
al-Quran
Selain
beberapa nama kitab tersebut, (mungkin) masih ada yang tidak tertulis pda
daftar di atas, akan tetapi yang demikian itu telah mencukupi, karena dianggap
dapat mewakili kitab-kitab karangannya yng musnah, hilang atau yang belum
ditemukan atau belum dikodifikasikan.
Berbagai karya intelektua tersebut mengambarkan sosok al-Ghazali sebagai
seorang ‘alim yang produktif yang perlu dijadikan teladan para ulama dalam
berkarya.
Ihya ulum
al-Din yang artinya “Menghidupkan kembali ilmu-ilmu (jiwa) agama Islam”
merupakan karya besar al-Ghazali dalam karisrnya sebagai pemikir dan penulis
Islam. Sebelum sampai pada penulisan karya ini, ia telah menempuh perjalanan
spiritual yang panjang dalam bentuk ‘uzlah dan khalwat yang berlansung lebih
kurang selama sepuluh tahun. Ihya ‘Ulum al-Din merupakan buah dari perjalan tersebut.
Kitab ini ditulis setelah ia memiliki keyakinan dalam menempuh jalan tasawuf
dalam mencari kebenaran dan kesempurnaan jiwa.
Menurut Philip
K. Hitti,Ihya ‘Ulum al-Din ditulis di Baghdad, yaitu sesudah habis masa uzlah
dan khalwatnya al-Ghazali. Kalau
pendapat itu benar, maka Ihya ‘Ulum al-Din diperkirakan ditulis sekitar tahun
1105 – 1107 M. Dalam pada itu, ada pula pendapat yang mengatakan bahwa kitab
tersebut ditulis pada masa uzlah dan khalwatnya al-Ghazali sendiri, yakni sekitar rahun1095 – 1107 M. Walaupun tidak terdapat keterangan yang tegas
kapan Ihya ‘Ulum al-Din ditulis dan berapa lama menulisnya, yang jelas buku itu
adalah karya al-Ghazali yang ditulis sebagai buah dari pengembarn dan
perjalanan intelektual dan spiritualnya cukup lama.
Dari segi
perkembangan pemikiran al-Ghazali sendiri, Ihya ‘Ulum al-Din ditulis setelah ia
selesai mempelajari filsafat, ilmu kalam (Teologi), tashawuf dan aliran
kebatinan yang berkembang pada masanya. Khusus dibidang tasawuf, diantara
buku-buku tasawuf yang mempengaruhinya adalah buku Qût alQulûb karangan Abu Thalib al-Makki dan buku tasawuf al-Harits
al-Mahasibi, serta buku-buku sastra sufi lainnya dari al-Junaidi, al-Syivli dan
Abu Yazid al-Busthami.
Walaupun
al-Ghazali dipengaruhi oleh pemikiran para sufi di atas, tetapi Ihya ‘Ulum
al-Din berbeda dengan buku tasawuf mereka. Menurut al-Ghazali sendiri, perbedan
itu antara lain terletak pada lima hal berikut. Pertama, Ihya ‘Ulum al-Din
mengurikan secara panjang lebar apa yang ditulis oleh mereka secara singkat.
Kedua, Ihya ‘Ulum al-Dinmenyusun dan mengatur apa yang ditulis mereka secara
berserakan dan tidak sistematis. Ketiga, Ihya ‘Ulum al-Din menyingkat dan
menguatkan apa yang mereka tulis secara panjang. Keempat, Ihya ‘Ulum al-Din
membuang dan mengisbatkan apa yang mereka tulis secara berulang-ulang. Kelima,
Ihya ‘Ulum al-Din memberikan kepastian terhadap hal-hal yang meragukan yang
membawa kepada kesalahpahaman, dimana hal itu tidak pernah disinggung dalam
tulisan-tulisan mereka. Inilah lima kelebihan Ihya ‘Ulum al-Din
disbanding buku-buku tasawuf lainnya. Dengan adanya beberapa hal ini,maka tidak
heran bahwa buku besar al-Ghazali ini menjadi salh satu rujukan penting bagi
orang yang ingin mendalami tasawuf dan mengamalkannya.
Kebesaran
Ihya al-Ghazali mendapatkan pengakuan baik dari kalangan pemikir-pemikir muslim
dan umat Islam pada umumnya, maupun dari pemikir-pemikir non muslim. Ia
mempunyi pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan pemikiran, terutama
dalam bidang tasawuf, dan lebih khusus lagi di dunia suni, walaupun di dunia
syi’ah ia memiliki pengaruh.Diantara pemikir muslim yang menghargainya adalah
Ibnu Khaliikan, Muhammad Abduh dan sebagian pemikir Syi’ah. Ibnu Khallikan
mengatakan bahwa karya al-Ghazali jumlahnya banyak dan semuanya bermanfaat. Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn adalah karyanya yang
paling bagus. Karya ini dari dahulu sampai sekarang banyak mendapat perhatian
para pemikir karena nilainya yang tinggi dan manfatnya yang besar. Karya
tersebut menjadi babakan baru dalam sejarah pemikiran dan kehidupan rohani
Islam.
Adapun
di antara pemikir Barat yang menghargai kebesaran Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn adalah Benaventura, para teolog Katholik, Musa
al-Maimun dari teolog Yahudi, Alban Widgery, Goldziher, Miguel Asin, D. B.
MacDonald dan Hans Bauer. Alban G. Widgery mengatakan bahwa Ihyâ
‘Ulûm al-Dîn merupakan karya besar al-Ghazali yang mempunyai pengaruh besar
di dalam dan di luar lingkungan Islam, serta masih mempunyai daya tarik yang
masih besar sampai saat ini. Hal itu dikarenakan dalam buku itu ia memberikan
uraian tentang tujuan terakhir dari moral dan agama Islam yaitu tercapainya
kebahagiaan dan kesempurnaan jiwa dan akhlak di dunia dalam menuju Allah dan
kehidupan akhirat, dan dengan buku itu pula ia diberi gelar Hujjat
al-Islam. Goldziher memuji Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn
sebgai buku yang indah tentang agama Islam, karena isinya meliputi segala
persoalan. Malah ada yang mengatakan bahwa keindahannya sedikit dibawah
al-quran. Sedangkan Miguel Asin sebagai pencintanya telah mengadakan studi
banding tentang Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn
dengan ajaran Kristen. Semua pendapat tersebut menggambarkan adanya pengakuan mereka terhadap Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn sebagai karya besar
al-Ghazali yang pengaruhnya masih terasa sampi sekarang. Di Indonesia sendiri,
terutama di banyak pesantren terutama pesantren salaf, buku ini menjadi salah
satu referensi penting dalam bidang akhlak tasawuf. Para ulama Indonesia juga
banyak yang memberi penghargaan yang tinggi terhadap kebesaran buku ini. Karena
jumlahnya sangat banyak maka nama-nama mereka tidak disebutkan di sini.
Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn disusun secara
sistematis. Ia tediri dari empat rubu’ (bagian perempat). Masing-masing rubu’
terdiri atas sepuluh kitab. Seterusnya masing-masing kitab dirinci atas
beberapa bab, fasal, syarah dan bayan (penjelasan). Rubu’ al-‘ibadat
didahulukan karena ibadah merupakan pokok dan tujuan utama manusia dijadikan
Allah. Keharmonisan hubungan manusia dengan Allah terletak pada factor ibadah
kepadanya. Sesudahnya ada rubu’ al-‘adat. Rubu’ ini erat kaitannya dengan hubungan
sesama manusia dalam kehidupan sosial dan politik atau hubungan manusia dengan
makhluk Allah lainnya. Pembinaan keharmonisan manusia dengan sesama dan
lingkungannya adalah tujuan dari rubu’ ini. Rubu’ ketiga dan keempat adalah
rubu’ al-muhlikât dan rubu’ al-munjiyât. Kedua rubu’ ini erat kaitannya dengan
pembinaan hubungan baik antara manusia dengan dirinya sendiri. Dengan kata lain
bagaiaman manusia mampu menghiasi dirinya dengan akhlak yang terpuji serta
menghindari akhlak yang tercela. Rubu al-muhlikât berisikan uraian tentang
sifat-sifat tercela yang menyebabkan timbulnya penyakit jiwa (amrâdh al-qulûb) serta jatuhnya orang ke
dalam kebinasaan (al-fasâd) dan
neraka. Rubu’ al-munjiyat berisi uraian tentang sifat-sifat terpuji yang
keberadaanny merupakan pengobatan bagi penyakit jiwa, serta pokok pangkal untuk
memperoleh ketenangan dan ketentraman hidup, serta meraih kebahagiaan di
akhirat nanti. Demikian sekelumit kebesaran dan isi kandungan buku Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar