Laman

Selasa, 31 Maret 2015

KHATIB AL-BAGHDADI

1. Kehidupan dan Kepribadian Khatib al-Baghdadi
Al-Baghdadi merupakan salah seorang tokoh Islam klasik yang terkenal di kalangan umat Islam dan manusia sebagai pengarang sebuah karya besar Târikh Baghdad. Ia terkenal dengan sebutan Khatib al-Baghdadi. Nama lengkapnya ialah Ahmad bin ‘Ali bin Tsabit bin Ahmad ibn Mahdi. Sebutan al-khatib didasarkan kepada profesi dan kedudukan ayahnya sebagai khatib dan imam dalam waktu yang lama di kampung Durzaijan al-‘Iraqiyah. Nama al-Khatib sebenarnya bukan sebutan untuk Khatib al-Baghdadi saja, karena ada tokoh lain  yang mendapat sebutan al-Khatib, yaitu al-Khatib al-Tibrizi yang merupakan salah seorang murid Khatib al-Baghdadi. Sebutan al-khatib juga didasarkan asalnya pada nisbah ‘arabi. Hal itu dikarenakan ia berasal dari kalangan bangsa Arab yang mendiami suatu daerah dekat kawasan al-Hashashah di sekitar sungai Furat (Efrat) di wilayah Irak di mana ayahnya tinggal di kampung Durzaijân selama kurang lebih dua puluh tahun dengan aktivitas utama memimpin kegiatan keagamaan masyarakatnya dengan menjadi khatib dan imam bagi mereka.
Al-Baghdadi lahir di kampung Ghazyah, suatu daerah yang terletak dekat daerah Fayd.Suatu pendapat mengatakan ia lahir di daerah Hunaiqiya yang merupakan sebuah kampung para pekerja yang mengurus sungai demi kepentingan kerajaan (nahr al-mulk), pada bulan Jumadil Akhir tahun 392 H. Ia tumbuh dan hidup di kampung Durzaijan diantara anggota-anggota keluarganya, di bawah bimbingan dan pengasuhan ayahnya yang merupakan seorang pencinta ilmu pengetahuan dan sangat memperhatikannya. Dengan keadaan inilah ia menanamkan rasa cinta ilmu dan belajar pada anak-anaknya termasuk al-Baghdadi. Ia sangat menganjurkan dan merperhatikan dirinya untuk menjaga kebiasaan belajar itu.
Di samping dari ayahnya, pada masa kecilnya, al-Baghdadi juga menerima pendidikan dari seorang ulama di daerahnya yang bernama Hilâl bin’abd Allah al-Thîbî. Dari ulama tersebut ia belajar membaca dan menulis al-quran dan akhlaq. Ia juga belajar berbagai bentuk bacaan al-quran (wujuh al-qirâat) dari Ibn al-Shaidalani dan ‘Ali bin Manshûr al-Habali. Ia mengenal dan bisa melafalkan berbagai bentuk bacaan al-quran terutama bacaan-bacaan yang mutawatirah. Pada saat usianya sebelas tahun, ia sangat tertarik dan berkeinginan untuk mempelajari ilmu fiqh dan hadits. Keinginan tersebut merupakan hasil didikan dan bimbingan ayahnya yang terus memberikan samangat dan dorongan untuk terus belajar dalam berbagai bidang ilmu serta untuk berguru pada siapa saja yang dipandang mampu memenuhi keinginannya untuk mendapatkan ilmu.  Oleh sebab itu ia selalu mengikuti berbagai majlis ilmu. Ia mulai mempelajar hadits nabi dari seorang muhaddits yang bernama Ibnu Rizqawiyah. Pada waktu yang bersamaan ia sering pulang pergi mendatangi majlis seorang faqih madzhab Syafi’i yang terkenal di daerahnya saat itu yang bernama Abi Hâmid al-Isfirâyîni. Dari dua orang ualam tersebut, ia memperoleh berbagai pengetahuan terutama tentang hadits dan fiqh sehingga tak heran kalau ia dikenal sebagai salah seorang rijal hadits dan fuqaha yang dikagumi.
Setelah itu ia terus meneruskan pengemabaraannya untuk menuntut ilmu terutama dalam bidang hadits. Ia berguru pada banyak ulama serta banyak mendapatkan ilmu dalam bidang hadits ini. Seperti yang ia dapatkan dari gurunya di atas, ia pun memperoleh pengetahuan tentang hadits dan ilmu hadits ini dari salah seorang gurunya yang lain yang  bernama Abu Bakar al-Burqâni yang banyak memberi pengaruh pada kehidupan keilmuannya dan mengarahkannya untuk terus mempelajari hadits dan mengkhususkan diri dalam bidang ini. Selain itu, al-Baghdadi terkenal sebagai orang yang bersungguh-sungguh dalam belajar dan mengajarkan ilmunya lagi serta keluasan pandangan sejak kecil sampai ia dewasa bahkan sampai masa tuanya. Ia banyak melakukan perjalanan mencari ilmu (rihlah ilmiah) ke berbagai daerah lain di luar kampungnya.
Al-Baghdadi dipandang sebagai salah seorang rijal hadits terbesar di masanya dengan kedalaman ilmu dan sikap zuhudnya. Ia memiliki akhlak yang mulia, perilaku yang terpuji dan kedudukan yang tinggi. Ia adalah seorang yang bijaksana, tapi teguh pendirian, memiliki kepribadian yang kuat dan sangat berpengaruh. Ia memiliki kemampuan intelektual yang cerdas, mencintai ilmu, menjaga diri dan dikenal dengan kedermawanan dan keagungan jiwanya. Ia merupakan tipe ulama yang pantas menjadi suri tauladan bagi seorang ‘alim mu’min yang berkeinginan untuk memiliki ilmu dan amal yang berbekas dan bermanfaat. Ia sendiri berpandangan bahwa hal yang paling penting bagi seorang pencari ilmu adalah ikhlas dan bersungguh-sungguh dalam mengamalkannya yang menurutnya merupakan buah dari ilmunya. Dengan sifat-sifat dan akhlakterpuji ini, menurut Yaqut al-Hamawi al-Baghdadi merupakan sosok yang pantas menjadi protptipe dalam ilmu dan amal. Ia salah seorang pakar ilmu dan pendidikan yang diperhitungkan dan memiliki derajat yang tinggi dan posisi yang terhormat. Kita melihat ijma’ ‘ulama tentang berbagai sifatnya seperti seorang yang berilmu, jujur, terpercaya ilmunya, bagus tulisan dan karyanya, fasih bahasanya dan luas pandangannya.
Selain beberapa karakter di atas, banyak ulama lain yang memberikan berbagai penilaian tentang kepribadian dan keilmuan al-Baghdadi. Hal itu –tanpa bermaksud melebih-lebihkan apalagi mengkultuskan—menunjukkan bahwa al-Baghdadi diakui sebagai seorang tokoh Islam klasik yang kharisma dan wibawa keilmuan dan kharisma serta wibawa edukatifnya diakui oleh ulama-lainnya. Beberapa ulama –sekedar contoh—yang memberikan apresiasi dan penghargaan terhadap kepribadian al-Baghdai diantaranya Ibnu Hajar al-‘Asqalâni, dan bahkan dalam pandangan Ibnu ‘Asakir ia merupakan salah seorang imam yang masyhur, pengarang yang banyak karyanya, penghapal al-quran hadits (huffazh) yang cemerlang dan puncak diwanul muhadditsin.
Dikalangan orang-orang yang melakukan studi Islam tentang tokoh-tokoh Islam klasik ia memiliki kedudukan yang diperhitungkan serta dijadikan salah seorang referensi dalam berbagai aspek kilmuan Islam seperti hadits, sejarah, etika Islam, fiqh dan sebagainya, hanya saja pemikiran-pemikiran kependidikannya tidak terlalu tergali dan terbuka seperti bidang-bidang lainnya.

2. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat
Al-Baghadadi hidup dan menjalani karir keilmuannya pada penghujung abad keempat dan separuh lebih abad kelima hijriyah. Pada masa itu kehidupan umat Islam dalam berbagai bidangnya berada di bawah kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah yang berkedudukan di Baghdad. Kekuasaan dinasti Abbasiyah yang merupakan pengganti dinasti Bani Umayah didirikan dikuasai oleh keturunan al-Abbas paman nabi Muhammad SAW. Pendiri dinasti ini adalah Abdullah al-Saffah Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, yaitu dari tahun 132 H/ 750 M sampai tahun 656 H/ 1258 M.
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perbubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode, yaitu periode pertama (132 H/750 M – 232 H/ 847 M) yang disebut periode pengaruh Persia pertama, periode kedua (232 H/ 847 M-
334 H/ 945 M) yang disebut masa pengaruh Turki pertama, periode ketiga (334 H/ 945 M – 447 H/ 1055 M), periode keempat (447 H/ 1055 M – 590 H/ 1194 M) yang merupakan masa kekuasaan dinasti Bani Saljuk dalam pemerintahan Khilafah abbasiyah dan biasanya disebut dengan masa pengaruh Turki kedua, dan periode kelima (590 H/ 1194 M – 656 H/ 1258 M) yang merupakan masa kekhalifahan bebas dari dinasti lain, tetapi kekuasaan hanya efektif di sekitar kota Baghdad.
Dengan melihat pembagian peride kekuasaan dinasti Bani abbasiyah di atas, Masa hidup al-Baghdadi adalah pada sebagian periode ketiga dan sebagian periode keempat. Pada periode ini kondisi sosial budaya negara dan masyarakat berada pada kondisi yang kurang stabil, terutama dari segi politik. Hal itu ditandai dengan banyaknya gejolak politik yang membawa pengaruh pada bidang-bidang kehidupan lainnya.
Kondisi kehidupan politik dinasti Bani Abbasiyah sebenarnya sudah lemah sejak awal-awal abad keempat hijriyah. Hal itu diakibatkan beberapa sebab, diantaranya bergeser dan bertambah kuatnya kekuasaan para pejabat selain khalifah, banykanya usaha untuk membentuk pemerintahan sendiri dari beberapa daerah, banyak terjadinya pertentangan politik antara khalifah dan para shultan di satu sisi dan antara para shultan dengan para pembantunya di sisi lain. Keadaan tersebut terus berlangsung sampai kelompok Bani Bawaihi yang berhaluan syi’ah masuk dan menguasai kota Baghdad pada tahun 334 H/ 945 M. Pada saat Baghdad dikauasi dan dikendalikan kaum Buwaihi, terjadi pembatasan terhadap berbagai kewenangan khalifah, hanya beberapa hal saja yang tetap menjadi kebijakan khalifah seperti kepemimpinan politik formal dan kewenangan manajerial yang terbatas seperti pengumuman perang, penentuan hakim, pengangkatan imam-imam masjid, pengurusan masalah haji, menyambut datangnya suatu rombongan dari perjalanan. Penggunan burdah (pakaian) kebesarab rasulullah SAW hanya sebatas mempertegas kekuasaan khalifah pada aspek keagamaan. Pada saat kepemimpinan Daulah Bani Abbasiah di tangan orang-orang Buwaihipun, situasi dan kondisi politik juga berada dalam keadaan tidak begiti stabil.
Setelah menguasai Baghdad selama kurang lebih satu abad lamanya, dinasti Bani Bawaihi pun mengalami kemunduran. Kemunduran tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya sering terjadinya pertikaian dalam keluarga dinasti terutama dalam hal posisi dan jabatan politik serta tidak adanya aturan suksesi kepempimpinan yang jelas. Juga lemahnya manajemen pemerintahan karena lebih banyak bertumpu pada kekuatan militer. Di samping itu secara ekstern, kemunduran itu juga disebabkan oleh banyaknya pemberontakan dari beberapa daerah dan usaha pemberontakan oleh orang-orang dari daerah Turki yang dimotori oleh keturunan Saljuk atau Bani Saljuk.     
Setelah pemerintahan yang dikendalikan oleh Bani Buwaihi mengalami kemunduran, maka kendali pemerintahan akhirnya jatuh ke tangan orang-orang Bani Saljuk yang sebelumnya banyak menempatkan diri sebagai pihak oposisi. Seperti dijelaskan oleh al-Shuyuthi, bahwa kemunduran-kemunduran yang dialami oleh Bani Buwaihi merupakan kesempatan baik bagi Bani Saljuk untuk mengambilalih kendali pemerintahan setelah mereka berhasil mengatasi berbagai kemelut politik yang banyak menggganggu kekuasaan sebelumnya. Maka setelah itu Daulah Abbasiah berada di bawah kendali Bani Buwaihi.
Setelah berkuasa dan memegang kendali pemerintahan, Bani Saljuk berusaha untuk mengembalikan kekuasaan pemerintahan pusat yang telah mengalami kelemahan, walaupun terkadang mereka menempuh lngkah-langkah dengan kekerasan dan tidak sedikit membawa korban, terutama dari pihak-pihak yang berbeda haluan politik dengan mereka.  Mereka tidak sekidit menakut-nakuti orang-orang yang menentangnya bahwa mereka tidak akan mendapatkan pekerjaan dan akan dikucilkan.
Dengan usaha dan kerja kerasnya, maka masa pemerintahan Bani Saljuk bisa dikatakan sebagai periode penting dalam memperbaharui kekuatan Islam dan usaha mengembalikan wibawa khilafah ‘Abbasiah serta usaha mengatasi berbagai disintegrasi politik dan wilayah yang terjadi baik di dalam, maupun di luar dan mempersatukan kembali kekuatan dan kesatuan politik ke tangan daulah islamiah. Di samping dalam bidang politik dan militer, usaha uang dilakukan oleh Bani Saljuk juga meliputi bidang-bidang lainnya, seperti bidang keilmuan, ekonomi dan kemasyarakatan serta berbagai aspek kehidupan lainnya.
Seperti dinasti sebelumnya (Buwaihi), setelah kurang lebih satu setengah abad (447 H/ 1055 M – 590 H/ 1194 M), dinasti Bani saljukpun tidak dapat mempertahankan kekuatan dan wibawa politik.  Perpecahan dan pertentangan yang terjadi di dalam tubuh dinasti itu serta kurang hebatnya penanganan dan manajemen pemerintahan saat itu telah mengantarkannya pada posisi yang lemah, dan disintegrasi politik dan wilayah tidak dapat dihindari lagi. Dengan kondisi ini, dinasti yang telah dibangun itu mengalami kemunduran.
Demikianlah kondisi kehidupan politik secara singkat dapat dijelaskan disini pada saat hidup dan berkarirnya al-Baghdadi. Secara umum dapat digambarkan bahwa kehidupan politik yang terjadi pada masa hidupnya al-Baghdadi mengalami dinamika dan pasang surut yang cukup signifikan. Hal itu, tidak begitu besar pengaruhnya bagi kehidupan dan karir intelektual al-Baghdadi, karena ia tidak banyak terlibat dengan kegiatan-kegiatan politik.
Kehidupan ekonomi yang dialami masyarakat pada masa hidupnya al-Baghdadi berada dalam kondisi yang sangat memperihatinkan. Dalam beberapa literature dijelaskan gambaran kehidupan ekonomi masyarakat, bahwa mereka sering mengalami kekurangan pangan, kelaparan dan kerusakan yang keadaan tersebut menyebabkan terjadinya kelumpuhan ekonomi. Kondisi demikian telah membawa sebagian besar masyarakat pada keadaan yang membayakan serta tidak sedikit banyak menimbulkan kematian dan tersebarnya berbagai penyakit. Rakyat banyak menderita dan pemerintah tidak begitu banyak memperhatikanya karena terlalu sikbuk mengatasi berbagai gejolak politik.
Kondisi ekonomi yang demikian parah dan –apalagi—tidak memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat itu disebabkan oleh beberapa factor, seperti lemah dan tidak terkendalinya lagi masalah politik, lemahnya manajemen pemerintahan, borosnya pengeluaran negara untuk hal-hal yang tidak langsung berkaitan dengan kebutuhan rakyat terutama aspek ekonomi, Tidak adanya rasa aman dalam pengelolaan harta dengan sering keluarnya aturan pengurusan harta yang merugikan rakyat, banyak timbulnya bencana serta buruknya proses distribusi harta dan kegiatan ekonomi secara umum.
Kehidupan sosial kemasyarakatan juga dipengaruhi oleh kondisi poltik dan ekonomi yang terjadi saat itu. Walaupun secara umum kehidupan politik dan eknomi tidak stabil, namun di sisi lain terdapat kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang mengalami kehidupan sosial yang berbeda dengan kehidupan masyarakat pada umumnya. Mereka menurut Muhammad Ahmad Thals dapat dikelompokkan ke dalam beberapa golongan, diantaranya kelompok keluarga khalifah dan sulthan yang memiliki banyak kekayaan, kelompok orang-orang yang dekat dengan penguasa seperti hakim dan pekerja kerajaan, para pedagang besar dan pemilik tanah yang luas. Di bawah mereka ada kelompok pdagang kecil dan kelompok petani, serta yang terakhir kelompok masyarakat kebanyakan. Selain itu ada pula kelompok orang yang lebih mementingkan kegiatan ilmu dan yang bekerja dengan pekerjaan-pekerjan tertentu di luar bidang pekerjaan di lingkungan khilafah dan di luar perdagangan dan pertanian.
Tidak stabilnya kehidupan politik dan kurang bagusnya kehidupan ekonomi terutama yang dialami kalangan rakyat bawah yang merupakan mayoritas, mengakibatkan sering terjadinya keresahan sosial yang terjadi. Tidak sedikit diantara mereka yang menempuh jalan yang tidak benar dan mengakibatkan banyak munculnya penyakit-penyakit sosial yang merugikan, seperti perjudian, pencurian, pemabukan dan berbagai bentuk kemunkaran lainnya, di samping pola hidup para penguasa yang semakin jauh dari aturan moral dan akhlak mulia.  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kehidupan sosial masyarakat berpengaruh besar terhadap semakin jauhnya mereka dari batasan-batasan agama. Masyrakat banyak mengalami putus asa, saling menyalahkan satu sama lain dan munculnya berbagai macam kerusakan terutama secara mental spiritual.
Di sisi lain, disaat kehidupan politik, ekonomi dan sosial berada dalam keadaan memperihatinkan itu, kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan masalah ilmu yang dilaksanakan oleh mereka ynag bergelut dibidangnya, mengalami perkembangan yang sebaliknya. Pada saat itu tersebar berbagai majlis ilmu dan kegiatan diskusi, terutama yang membahas masalah-masalah yang terjadi ditengah-tengah negara dan masyarakat. Hal itu dilaksanakan ditengah keterbatasan kkhalifah dan lemahnya pemerintahan. Mereka banyak membahas bagaimana memperbaiki kehidupan akhlak masyarakat. Juga merekapun tidak ketinggalan membicarakan hikayat-hikayat, cerita-cerita terutama untuk menghibur diri dari keadaan yang kurang menguntungkan saat itu.

3. Karir Intelektual al-Baghdadi        
Al-Baghdadi merupakan satu orang –terutama pada zamannya—yang sangat mencintai dan bersungguh-sungguh dalam hal ilmu pengetahuan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa ayahnya telah mengarahkan dirinya terhadap ilmu dan kesungguhan mencarinya. Hal itu mengantarkan al-Baghdadi sebagai seseorang yang berhasil meniti karir intelektual berupa penguasaan beberapa bidang ilmu agama yang terlihat dengan banyak lahirnya karya-karya intelektual yang sangat berharga bagi perkembangan Islam dan kepentingan umatnya.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa walaupun pada masa hidupnya al-Baghdadi (abad lima hijriyah) kehidupan politik, sosial ekonomi negara dan masyarakat tidak begitu stabil, namun kegiatan keilmuan tetap berjalan dengan baik. Hal itu ditandai dengan banyak munculnya kegiatan keilmuan, lahirnya tokoh-tokoh ilmu yang memang jauh beberapa abad sebelumnya sudah terjadi. Al-Baghdadi adalah salah seorang tokoh yang merasakan bagusnya iklim intelektual itu, sehingga ia bisa mengembangkan diri dan karirnya dibidang ini.
Karir intelektual al-Baghdadi ini berkaitan dengan pengembaraannya dalam mencari ilmu ke berbagai daerah --termasuk pada masa terjadinya instabilitas politik daulah Bani ‘Abbasiyah abad kelima hijriyah-- dengan belajar ke beberapa orang gurunya, serta upayanya mentransformasikan ilmu itu dalam bentuk aktivitasnya mengajar di berbagai majlis ilmu. Juga dengan banyaknya orang yang menimba ilmu darinya sehingga ia tercatat memiliki banyak murid.
Al-Baghdadi belajar berbagai bidang ilmu agama kepada sejunlah orang yang menjadi gurunya yang menurut al-Thahhan jumlahnya mencapai ratusan orang. Sebagian besar adalah imam-imam hadits dan huffazh. Mereka itu diantaranya Aba Na’im al-Ashbihâni, Abâ ‘Abd Allah al-Shûry, Abu Rizqawiyah dan al-Mahâmili serta yang lain-lainnya. Adapun beberapa muridnya yang yerkenal diantaranya Ibn Ma’kul, ‘Abd al-‘Aziz al-Kittâni, Ibn al-Akfâni, Abu Ishaq al-Qusyairy, Thahir bin Sahal al-Isfirai, al-Khatib al-Tibrizi dan lain-lainnya. Al-Baghdadi sangat menghormati dan mengagungkan guru-gurunya itu, sebagaimana ia sangat perhatian dan mengasihi murid-muridnya.
Karir intelektual al-Baghdadi juga terlihat dari aktivitas keilmuannya yang berkembang seiring dengan baiknya kondisi kebebasan berpikir dan munculnya pusat-pusat aktivitas ilmu, terutama dengan berdirinya madrasah-madrasah yang dipelopori oleh pendirian madrasah Nizhamiyah oleh perdana menteri Nizham al Mulk pada tahun 450 H.  Madrasah-madrasah yang banyak muncul itu nantinya menjadi terspisifikasi dalam bentuk madrasah al-Fuqaha wa al-Muhadditsin, madrasah ‘ulama al-Kalam, madrasah al-Falasifah dan madrasah Shufiyyah. Kehadiran madrasah-madrasah tersebut memberi peluang kepada al-baghdadi untuk mengembangkan karir intelektualnya, baik sebagai pengajar, maupun sebagai penengah ketika terjadinya “konflik” intelektual diantara mereka yang berbeda pendapat, seperti yang terjadi diantara ahl al-kalam di satu pihak dengan ahl al-hadits dan fiqih di pihak lain. Selain itu, seperti dijelaskannya, bahwa ia banyak terlibat dalam upaya mencari penyelesaian perbedaan pendapat antara para fuqaha dan muhaddits, dengan memberikan penjelasan akar permasalahan dan pertentangan mereka dan membawanya pada kemashlahatan ilmu dan pemahaman yang merupakan tujuannya dalam ilmu dan agama.
Banyaknya berdiri madrasah dengan berbagai kegiatan keilmuan tersebut, menandakan bahwa kegiatan pendidikan secara umum berjalan dengan baik. Tiap-tiap madrasah memiliki tujuan dan orientasi masing-masing. Madrasah fuqaha lebih menekankan aspek fiqh, madrasah muhadditsin memiliki fokus kajiannya pada bidang hadits dan ulumul hadits, madrasah ahli kalam dengan penekanan kajian kalamnya, madrasah falasifah dengan menitik beratkan aspek pemikiran filsafatnya dan madrasah shufiyyah dengan orientasi tashawufnya. Fenomena pendidikan tersebut sedikit banyak mempengaruhi pola pikir al-Baghdadi dalam berbagai bidang keilmuan, termasuk dalam bidang pendidikan yang lebih luasnya akan terlihat dalam pembahasan berikutnya.

4. Karya-Karya Intelektual al-Baghdadi
Sebagai seorang ulama yang banyak bergelut dengan dunia keilmuan, al-Baghdadi telah menghasilkan berbagai karya intelektual dalam berbagai bidang ilmu keislaman, terutama yang lebih banyak dikenal dalam bidang hadits dan ilmu hadits. Di samping itu, ia juga menghasilkan beberapa karya intelektual dalam bidang fiqh, akhlak dan sejarah. Salah satu karya al-Baghdadi yang paling monumental dan memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi adalah Tarikh Baghdad.
Dalam karya besarnya tersebut, al-Baghdadi menjelaskan secara panjang lebar sejarah kota Baghdad dan hal-hal yang berkaitan dengannya sejak berdirinya sampai tahun 463 H. Buku sejumlah dua puluh jilid tersebut menceritakan berbagai hal yang ada di dalam kota besar itu, yaitu tentang sifat-sifat, garis-garis batasnya dan juga tentang peradabannya. Al-Baghdadi juga menceritakan orang-orang yang mewarnai dan mempengaruhi kota itu dari berbagai aspeknya, yaitu para khalifah, raja, pemimpin, menteri dan orang-orang mulia lainnya.  Juga menjelaskan manusia-manusia yang memiliki kedudukan tinggi dalam bidang keilmuan dan berjasa dalam mengembangkannya, yaitu ilmu Nahwu (al-Nuhât), Sharf (al-Sharfiyyîn), Bayan (al-Bayâniyyîn), bahasa (al-Lughawiyyîn), qiraat (al-Qurrâ), tafsir (al-Mufassirîn), hadits (al-Muhadditsîn), kalam (al-Mutakallimîn), mantiqh/ logika (al-Manthîqiyyin), Ushul (al-Ushûliyyîn), ulama yang memiliki kemampuan dan otoritas berijtihad (al-Mujtahidîn), Fiqh (al-Fuqahâ), ahli hukum/ hakim (al-Qudhât), Farâidh (al-Fardhiyyîn) dari berbagai madzhab. Ia juga mencatat dan menjelaskan  orang-orang dengan kekhususan perilaku keagamaanya, yaitu orang-orang zuhud (al-Zuhhâd), orang-orang ahli ibadah (al-Nussak), orang-orang yang bertashawwuf (al-Mutashawwifah), orang-orang yang pandai menyampaikan cerita (al-Qashshash), orang-orang yang banyak memberi nasihat (al-Wu’azh), ahli hitung/ matematika (al-Riyadhiyyin al-Hisab), ahli tehnik (al-Handasiyyin), ahli Falak (al-Falakiyyin), ahli nujum (al-Munjimin), ahli musik (al-Musiqiyyin), dokter (al-Athibba), ahli mengobati luka (al-Jarrahin), para penulis/ sekretaris (al-Kuttab), ahli menulis kaligrafi (al-Khaththathin), ahli sastra (al-Mutaaddibin), ahli berita (al-Akhbariyyin), ahli nasab (al-Nasabiyyin), ahli sejarah (al-Muarrikhin), ahli ilmu ‘Arudh (al-‘Arudhiyyin), ahli Sya’ir (al-Syu’ara), ahli menyanyi (al-Mughanin), ahli pemanah (al-Rummat) dan ahli menunggang kuda (al-Fursan).  Mereka diberitakan dengan kunyah, laqab dan nasab serta kemasyhuran pengaruhnya dan tahun wafatnya. Ia menceritakannya berdasarkan urutan adyad huruf Arab. Al-Baghdadi mengakhiri karyanya itu dengan menceritakan wanita-wanita dan amat yang masyhur karena kelembutannya.
Al-Baghdadi menjelaskan semua yang berkaitan dengan kota Baghdad tersebut melalui sanad-sanadnya, dan ia sangat berhati-hati dalam menyampaikannya. Ketelitian dan kehati-hatian al-Baghdadi dalam menyampaikan berita-berita yang sampai kepadanya tentang kota itu, membuktikan bahwa ia merupakan salah ulama penulis karya intelektual yang luar biasa. Tidak heran kalau karya besar itu banyak menjadi rujukan tokoh-tokoh lainnya dalam karya yang bernilai historis. Buku Tarikh Baghdad ini di pandang sebagai karya paling terkenal dari al-Baghdadi. Salah seorang pembahasnya Munir al-Din Ahmad menganggapnya sebagai suatu risalah keilmuan (risalah ‘ilmiyah) di sekitar sejarah yang bernilai pendidikan Islam.
Di samping menghasilkan karya yang sangat bernilai sejarah tersebut, al-Baghdadi juga masih memiliki berbagai karya lainnya, termasuk dan terutama yang memiliki nilai pendidikan. Karya-karya tersebut kebanyakan berkaitan dengan adab-adab (etika) periwayatan yang dalam substansinya memliki nilai pendidikan dan pengajaran serta mengarahkan bagaimana hal-hal yang harus dilakukan oleh seorang ‘alim dan muta’allim dalam kegiatan belajar mengajar. Beberapa karya tersebut diantaranya:
1.      Kitab Iqtidhâ al-‘ilm al-‘amal
2.      Kitab al-Jâmi’ li akhlâq al-Râwi wa adâb al-Sâmi’
3.      Kitab Syarf ashhâb al-Hadits
4.      Kitab Nashîhat ahl al-Hadits
5.      Kitab Taqyîd al-‘Ilm
6.      Kitab al-Rihlah fi thalab al-Hadits
7.      Kitab al-Faqih wa al-Mutafaqqih
Pada masanya, kitab-kitab tersebut memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan kebudayaan dan pendidikan. Keberadaannya dapat membuka gairah kegiatan ilmiah bagi ulama dan mengembangkan gerakan berpikir di kota-kota Islam. Hal itu didasarkan pada adanya penjelasan tentangberbagai metode belajar dan keterkaitan para ulama (guru) dengan muridnya. Selain itu diketahui juga melalui beberapa karya itu lembaga-lembaga  keilmuan yang tersebar pada abad kelima hijriyah itu dan berbagai lingkungan pendidikan dan majlis-majlis diskusi yang diselenggarakan oleh para ulama besar di masjid-masjid atau kampung-kampung untuk mengajarkan hadits, berdiskusi dan belajar ilmu lainnya.
Karya-karya al-Baghdadi di atas sarat dengan nilai-nilai pendidikan. Kitab Iqtidha al-‘ilm al-‘amal dapat dikatakan sebagai kitab pendidikan karena isinya menyangkut banyak aspek pendidikan dan upaya implementasinya. Al-Baghdadi dari awal hingga akhirnya membentangkan bahasan tentang pentingnya mengumpulkan ilmu dan mengamalkannya yang dapat dipandang sebagai salah satu dasar Islam, bahkan merupakan suatu keharusan membuktikan ilmu itu dalam wujud amal yang terbaik, berdasarkan asumsi bahwa mengamalkan ilmu itu merupakan salah satu asas dalam pendidikan dan pengajaran dalam Islam, karena kalau ilmu hanya untuk diketahui saja tanpa diamalkan tidak memiliki arti dalam Islam (ilmu untuk ilmu) sebagaimana yang banyak dilupakan oleh banyak pendidikan pada masa dahulu dan masa sekarang. Kitab itu juga memberikan dorongan bagi setiap orang yang belajar untuk mengamalkan ilmunya. Pada masa sekarang ini, nasihat tersebut sangat berarti bagi kita untuk membangkitkan kegiatan pendidikan yang berbekas nyata, karena kesulitan itu tidak terletak pada ilmu-ilmu dan pengetahunannya, tetapi pada adanya kemampuan untuk mengambil faedah dalam arti mengamalkan ilmu itu untuk mengembangkan berbagai potensi yang berguna bagi kehidupan kita.
Kitab Syarf  ashhâb al-hadits adalah sebuah kitab yang mengarahkan seorang mu’allim tentang tujuan mengetahui kedudukan dan aktivitasnya dalam menyebarkan ilmu dan menyampaikannya. Dalam kitab ini terdapat beberapa bahasan tentang kedudukan seorang ‘alim dan kemuliaannya, serta hal-hal yang mesti diperhatikannya berupa etika dan akhlak yang sesuai dengan nilai-nilai agama. Adapun kitab Nashihat ahl al-hadits pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan kitab Syarf ashhâb al-hadits. Di dalamnya dijelaskan sebab-sebab cacatnya muhadditsin berupa kurang baiknya pemahaman terhadap apa yang mereka kumpulkan. Hal ini merupakan ajakan untuk mempertajam pemahaman dan menggunakan pikiran serta kedalaman dalam memahami nash-nash agama dan upaya istinbath al-ahkam. Dengan kitab ini, al-Baghdadi juga memberikan cara mengupayakan perbaikan sebagian prinsip-prinsip pendidikan seperi pengajaran bagi orang dewasa dan pengaruh kondisi masyarakat terhadap pendidikan.
Dalam kitab al-Rihlah fi thalab al-hadits al-Baghdadi menjelaskan pentingnya upaya melakukan perjalanan dalam mencari ilmu. Hal itu menurutnya merupakan salah satu sarana belajar yang sangat ditekankan oleh para ahli hadits dan ahli pendidikan. Adapun kitab Taqyîd al-‘ilm merupaka sebuah ajakan kepada para pencari ilmu untuk selalu membaca, memperdalam pemahaman dan mempelajarinya, sebagaimana hal itu merupakan ajakan juga kepada para ulama untuk memperkuat ilmu mereka agar bermanfaat di setiap tempat dan waktu.
Kitab al-Jâmi’ li akhlaq al-Râwi wa adab al-Sâmi’ dipandang sebagai kitab bernuansa pendidikan paling penting dari al-Baghdadi, walaupun –terutama dari segi judulnya—lebih berkaitan dengan orang-orang yang terlibat dalam tahammul wa al adâ li al-hadits.  Hal itu terlihat dari berbagai isyarahnya tentang hal-hal yang harus diperhatikan oleh para pendidik dan anak didik yang dalam hal ini dinisbahkan kepada seorang rawi hadits dan gurunya.
Kitab al-Faqih wa al-Mutafaqqih merupakan kitab ushul al-fiqh terpenting karya al-Baghdadi. Walaupun hampir dua pertiga kitab itu membahas tentang ushul fiqh, namun dalam sepertiganya ia membahas sisi lain hal yang harus diperhatikan oleh seorang ‘alim dan muta’allim dan etika-etika belajar serta keharusan mengamalkan ilmu dengan mengikuti suri tauladan yang baik (qudwah hasanah). Dalam kitab ini, al-Baghdadi membicarakan beberapa sumber pendidikan dalam pandangannya, yaitu al-quran al-karim, al-sunnah al-nabawiyyah, al-ijma’ dan al-qiyas.
Mengakhiri bahasan sekitar biografi al-Baghdadi ini, perlu disampaikan tentang wafatnya al-Baghdadi. Ia wafat pada hari senin, tanggal tujuh bulan Dzulhijjah tahun 463 H di Baghdad. Ia dikuburkan di dekat salah seorang ulama terkenal yaitu Basyar bin al-Hârits al-Hâfi.. Dengan wafatnya al-Baghdadi Mahmud al-Thahhan mengatakan bahwa buku-buku ilmu yang sangat berharga dan karangan yang bernilai telah tertutup dan umat Islam kehilangan seorang tokoh yang sangat memperhatikan khazanah ilmu-ilmu keislaman, terutama ilmu hadits. 

AL-GHAZALI

1. Kehidupan dan Kepribadian al-Ghazali
Al-Ghazali memiliki nama lengkap Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thûsî. Ia lahir di daerah Thus sebuah kota di Khurasan, Persia tahun 450 H/ 1058 M. Ayahnya seorang pemintal wool yang selalu memintal dan menjualnya sendiri di kota itu. Dalam melafalkan namanya, terdapat dua pendapat. Ada yang mengtakannya dengan ungkapan al-Ghazzali –dengan tasydid huruf zaynya dan dibaca panjang—yang merupakan nisbah kepada al-Ghazzal. Ada juga yang mengatakannya dengan al-Ghazali –dengan dibaca ringan huruf zaynya. Dengan demikian perkataan yang berkaitan dengan nama itu memiliki dua nisbah, yaitu terhadap pekerjaan membuat kain wool (al-Ghazzal) dan nisbah kepada Ghazalah sebuah kampung di daerah Thus bagi orang yang membacanya dengan dibaca ringan hurup zaynya.
Ayah al-Ghazali bernama Muhammad. Ia sangat menaruh perhatian pada pendidikan anak-anaknya. Ia tidak ingin kedua anaknya –Ahmad dan al-Ghazali—miskin dari ilmu seperti keadaannya. Oleh karena itu, menjelang akhir hayatnya ia menitipkan kedua anaknya kepada sahabatnya untuk dididik sampai habis harta warisannya. Sang ayah meninggal dunia ketika al-Ghazali masih kecil. Setelah itu ia dididik oleh ibunya. Kasih sayang ibunyalah yang mendorongnya untuk menuntut ilmu kepada sahabat ayahnya. Sesuai dengan pesan, sahabat ayahnya mendidik al-Ghazali dan  saudaranya sampai habis harta warisannya, dan berhasil melaksanakan tugasnya dengan memberikan bekal imlu kepada al-Ghazali dan saudaranya terutama ilmu tashawuf. Dalam sejarah, kedua putra Muhammad itu menjadi alim besar. Al-Ghazali dengan julukan Hujjat al-Islam, Zain al-Din dan Mujaddid, sedangkan Ahmad dengan julukan Majid al-Din.
Di samping ayahnya menaruh perhatian terhadap pendidikan anak-anaknya, al-Ghazali sendiri memiliki kecerdasan yang luar biasa disertai dengan bakat dan minatnya. Bakat dan minatnya kelihatan pada kemauannya yang kuat untuk belajar dan kecintaannya pada ilmu. Dalam sejarah pendidikan dan pengembaraan intelektualnya, kelihatan pula kebesaran bakat dan minatnya pada pendidikan.
Hal tersebut terbukti setelah dilepas oleh sahabat ayahnya, ia langsung menjalankan pesan gurunya untuk tetap menuntut ilmu sesuai dengan kemampuan yang ada. Kehausannya untuk mencari ilmu ia gambarkan dalam salah satu karyanya al-Munqidz min al-Dhalal, dimana menurutnya bahwa kehausannya untuk mencari hakikat kebenaran merupakan anugrah dari Allah SWT. Atas dorongan itulah al-Ghazali melakukan pengembaraan dari mulai jarak yang dekat sampai yang jauh untuk mencari ilmu.
Pada mulanya ia berguru kepada Ahmad bin Muhammad al-Râdzikani di Thus sampai usia belasan tahun. Dengan al-Radzikani ia belajar fiqh. Sesudah itu ia mulai merantau untuk menuntut ilmu di daerah Jurjan kepada Abu Nashr al-Isma’ili. Setelah selesai belajar di Jurjan, ia kembali lagi ke Thus untuk menetap selama tiga tahun. Waktu kepulangannya kembali ke Thus, ia pergunakan untuk mempelajari tashawuf dan memperaktekkannya di bawah bimbingan Yusuf al-Nassaj. Selanjutnya dalam usia dua puluh tahun, ia pergi belajar ke Naisabur, berguru kepada Abu al-Ma’ali ‘Abd al-Malik Ibn Abi Muhammad al-Juwaini, Imam al-Haramain, seorang ulama terkenal di madrasah Nizham al-Muluk. Di madrasah itu ia mempelajari teologi, filsafat, hukum, logika, retorika, ilmu pengetahuan alam dan tashawuf. Dalam belajar, ia terkenal rajin dan pintar, sehingga dalam waktu yang singkat ia memperlihatkan kemampuannya sebagai seorang ‘alim yang cemerlang. Tak heran kalau guru dan teman-temannya sangat mengaguminya, dan gurunya sendiri menggambarkannya sebagai seorang alim yang luas dan dalam ilmunya serta pintar dalam mengamalkannya. Walaupun demikian ia tetap menaruh hormat pada gurunya dan tidak menampakkan sedikitpun kesombongan.
Selain memiliki kecerdasan dan kemampuan intelektual yang hebat, al-Ghazali juga dikenal memiliki kepribadian yang sangat baik. Ia adalah seorang yang memiliki akhlak yang terpuji. Segala tutur kata dan perbuatannya selalu menyejukkan orang lain. Ia tidak keras, tetapi tegas dan teguh pendirian, walaupun –sebagaimana disebutkan dalam berbagai literatur—ia sempat berada dalam masa-masa kebimbangan dan keraguan terutama berkaitan dengan usahanya mencari kebenaran hakiki pada saat ia bersentuhan dengan filsafat dan teologi. Ia adalah seorang yang tekun beribadah dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan. Ia memiliki sifat-sifat terpuji seperti sabar, tawakkal, qanaah dan lain-lain. Ia bukan seorang yang cepat atau suka marah, tetapi ia mampu mengendalikan dirinya apabila menghadapi masalah.
Al-Ghazali sangat memperhatikan dan menekankan usaha pembentukan kesalehan individu dengan menempuh jalan tashawwuf melalui bentuk-bentuk pengamalan latihan spiritual (maqamat) dan selalu menjaga kondisi kejiwaannya dengan senantiasa berserah diri kepada Yang Maha Kuasa (ahwal).Tujuannya tiada lain supaya bisa dekat kepada Allah dengan sedekat-dekatnya, lebih jauh lagi bisa mencapai derajat musyahadah dan ma’rifat kepada-Nya. Ia mempraktekkan hidup zuhud dan menekankan pengamalan pola hidup ini, agar dalam menjalankan amaliah ibadah kepadanya benar-benar bisa istiqamah tanpa banyak gangguan. Namun hal itu buka berarti ia melarang untuk memiliki dunia.  
Al-Ghazali sangat menekankan agar manusia senantiasa menjaga kebersihan hati atau ruhaninya. Karena dengan keadaan itulah seseorang bisa melaksanakan ajaran Allah secara sempurna dan bisa melahirkan perilaku yang terpuji. Melalui jalan dan metode tashawuflah hal itu bisa tercapai. Dengan mengutip penjelasan al-Ghazali tentang pentingnya upaya menjaga kesucian hati (qalbu) sebagai salah satu cara bertashawuf ini, Riva’i Siregar mengatakan:
“Inti Tashawuf al-Ghazali adalah jalan menuju Allah atau ma’rifatullah. Oleh karena itu, serial al-maqamat dan al-ahwal pada dasarnya adalah rincian dari metode pencapaian pengetahuan mistis. Menurut al-Ghazali, sarana ma’rifat seorang sufi adalah qalbu, bukan perasaan dan tidak pula akal budi. Dalam konsepsi ini, qalbu bukanlah segumpal daging yang terletak pada bagian kiri dada manusia, tetapi ia merupakansemacam radar dan sebagai daya dan pletikan ruhaniah ketuhanan, dan dialah hakikat realitas manusia. Qalbu bagaikan cermin, sementara ilmu adalah  pantulan gambar realitas yang termuat di dalamnya. Maka jika qalbu yang berfungsi sebagai cermin tidakbening, maka tidak akan dapat memantulkan realitas-realitas ilmu. Supaya qalbu bisa selalu bening, caranya hanya dengan jalan ketaatan kepada Allah dan kmampuan menguasai hawa nafsu.”

Di samping pentingnya membentuk kesalehan individu melalui latihan spiritual dengan fokus kesucian qalbu, al-Ghazali juga memiliki kepribadian yang sangat memperhatiakn keadaan masyarakatnya. Ia menekankan pentingnya membangun masyarakat yang sesuai dengan ajaran Islam. Masyarakat yang utama akan terwujud apabila semua anggotanya memiliki akhlak yang terpuji. Melalui perjalanan keilmuan yang kemudian dipraktekkan dalam bentuk amaliah ibadah denga bingkai riyadhah (latihan spiritual), kita melihat bahwa kehidupan al-Ghazali dari mulai kecil sampai dewasanya, bahkan sampai nanti  meninggalnya, tidak terlepas dari ilmu dan amal. Hal ini merupakan satu suri tauladan bagi semua orang. Bagi seorang muta’allim, ia memberi contoh bagaimana bahwa dalam menuntut ilmu harus memiliki kesungguhan dan ketabahan yang didasari niat yang ikhlas. Kecerdasan yang didukung ketekunan dalam belajar menjadikannya seorang muta’allim yang berhasil dalam belajarnya. Ia menguasai berbagai disiplin ilmu agama. Bagi seorang ‘alim, ia merupakan tauladan dalam hal mengamalkan ilmunya. Ia tidak susah untuk mengajrakan ilmunya kepada semua orang. Ia mengajar dengan penuh keikhlasan dan kesabaran. Tidak hanya dengan cara mengajar, ia mengajarkan ilmunya dengan menuliskannya dalam berbagai karyanya sebagaimana yang akan terlihat nanti pada bagian berikutnya.
Walaupun kehidupan dan pengembaraan hidupnya –terutama pengembaraan intelektual dan spiritualnya—penuh dengan liku, namun al-Ghazali dapat dikatakan berhasil dalam menjalankan misi hidupnya sebagai seorang hamba yang dalam banyak hal diakui dan dijadikan teladan oleh umat manusia sampai sekarang. Ia dapat memberikan sumbangan yang besar bagi pengembangan agama dan pendidikan umatnya, khususnya dalam hal pembentukan akhlak yang mulia, terutama pada masanya, dimana pada masa itu ia menyaksikan kemerosotan akhlak yang dialami hampir semua lapisan masyarakat. Perjalanan hidup al-Ghazali diakhir dengan wafatnya ia pada pada tahun 505 H/ 1111 M di kota kelahirannya sendiri (Thus). Ia meninggal setelah melakukan satu perjuangan besar bagi umat manusia yang sangat tinggi nilainya khususnya dalam bidang ilmu dan akhlak.

2. Kondisi Sosial Budaya Masyrakat Masa al-Ghazali   
  Berbicara tentang kondisi suatu masyarakat pada suatu masa, termasuk masa hidupnya al-Ghazali akan memberikan gambaran tentang keadaan yang mempengaruhi pola pikir dan kehidupannya. Al-Ghazali hidup pada abad kelima hijriyah dengan berbagai keadaan dan dinamika politik, sosial budaya masyrakat dan negara yang terjadi pada saat itu.
Dalam perspektif sejarah, pada abad kelima hijriyah, dunia Islam di mana al-Ghazali hidup berada di bawah kekuasaan dinasti Bani Abbasiyah. Masa kehidupan al-Ghazali masih berada dalam periode klasik dari sejarah Islam. (650 – 1250 M). Sungguhpun demikian, tahun kelahiran dan masa kehidupannya tidak lagi berada dalam masa kemajuan Islam periode pertama, akn tetapi sudah berada dalam masa kemunduran atau disintegrasi dari periode sejarah Islam.  Dalam masa disintegrasi ini, kekuatan sosual politik umat Islam di bawah pimpinan dinasti Abbasiah sudah sangat mundur dan lemah. Berpeluh-puluh tahun sebelum kelahiran al-Ghazali, para khalifah Abbasiah sudah banyak kehilangan kekuatan otoritas politiknya dan sudah berada di bawah tekanan para tentara pengawal dan dominasi dinasti Bani Buwaihi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Berakhirnya dinasti Buwaihi tahun 447 M/1094 M dan naiknya dinasti Bani Saljuk sebagai pemegang kendali politik dengan mengendalikan para khalifah Abbasiah, menandai babak baru kehidupan politik Abbasiah oleh rejim yang berhaluan sunni. Dengan demikian, al-Ghazali hidup dalam atmosfir politik di bawah kekuasaan Bani Saljuk.
Berkuasanya dinasti Saljuk atas kekhalifahan Baghdad selama 139 tahun (1055 – 1149 M), hanya mampu mengatasi masalah umat selama tiga puluh tujuh tahun dari awal kekuasaannya. Masa tiga puluh tahun tersebut dapat dikatakan sebagai masa kemajuan dinasti Saljuk dalam politik dan pemerintahannya. Kemajuan dalam arti terkendalinya situasi politik, keamanan dan ketertiban masyarakat dan dapat berkembangnya ilmu dan budaya, serta rakyat dapat merasakan ketenangan dan ketentraman dalam hidupnya.
Setelah beberapa puluh tahun tersebut, situasi politik mulai menandakan tanda-tanda tidak stabil. Banyaknya pihak-pihak yang merasa disingkirkan oleh bani Saljuk ini, lambat laun menimbulkan benih-benih permusuhan dan pembangkangan terhadap khalifah dan dinasti itu. Banyak diantara para penentang pemerintah melakukan upaya-upaya untuk menimbulkan kekacauan di tengah-tengah masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat sendiri, keamanan dan ketertiban kembali kacau. Kekacauan tersebut bermula dari peristiwa terbunuhnya Perdana Menteri Nizham al-Muluk dan mangkatnya Sultan Malik Syah. Dengan tiadanya kedua orang kuat dinasti Bani Saljuk ini, para simpatisan Dinasti lain yang berada sebagai opsisi keras seperti dinasti Ghazwani, Khawarizmi, Ghuz dan golongan Syi’ah semakin leluasa melancarkan serangan mereka dan menimbulkan kekacauan di masyarakat.  Sampai akhir sejarahnya, dinasti Saljuk tidak mampu menjaga stabilitas politik pemerintahan dan memulihkan keamanan serta ketertiban bagi rakyatnya yang banyak diakibatkan oleh serangan yang datang dari luar. Dalam pada itu, di dalam tubuh dinasti saljuk sendiri terjadi pula perang saudara yang dilancarkan oleh keturuna Nizhâm al-Muluk. Perang tersebut berlangsung bertahun-tahun lamanya dan berakhir dengan politik pelumpuhan kekuasaan Saljuk, yaitu terpecahnya dinasti itu kepada dinasti-dinasti kecil dan berujung pula kepada kehancuran dinasti Saljuk sendiri.
Dalam keadaan dinasti Saljuk yang sudah mundur dan lemah kekuasaan politiknya dan terganggunya keamanan dan ketertiban serta diliputi oleh perang saudara, al-Ghazali hidup dan berjuang menegakkan kembali nilai-nilai Islam dan menghidupkan kembali jiwa agama dalam diri umat Islam.Dengan demikian, tidak heran kalau keadaan tersebut turut memberi pengaruh terhadap corak pemikiran al-Ghazali termasuk dalam bidang pendidikan.Yang jelas, waktu itu ia hidup dan berjihad dalam kondisi umat sudah mundur terutama dalam bidang politiknya.      
Dalam bidang ekonomi, pada masa hidup al-Ghazali kehidupan masyarakat bertumpu pada bidang perdagangan, pertanian dan keterampilan. Pada awal-awal pemerintahan dinasti Saljuk, kehidupan ekonomi masyarakat –termasuk masalah perdagangan—mendapat perhatian. Di samping menata kembali kehidupan politik setelah terjadinya instabilitas politik yang diakibatkan hancurnya dinasti Buwaihi, Kehidupan ekonomi masyarakat mendapat perhatian dari penguasa. Perdagangan yang sebelumnya banyak dikuasai oleh orang-orang yahudi, nasrani dan kelompok lainnya, kedatangan bani Saljuk membawa perubahan dalam hal ini, di mana kaum muslimin mulai mengambil peran dan bersama kelompok-kelompok lain tersebut menjalankan kegiatan perdagangan. Mereka tidak memandang rendah profesi tersebut, seperti pandangannya terhadap pertanian. Perdagangan darat dan laut muali ramai, terutama yang terjadi di Baghdad, Bashrah, Sairaf, Kairo dan Iskandariah. Kegiatan perdagangan ini sampai ke wilayah lain di bagian timur. Barang utama perdagangan saat itu adalah sutra, sehingga terciptalah satu jalur perdagangan yang dalam sejarah dikenal dengan jalur sutra yang besar.

Karena komoditi perdagangan sebagian besar berupa barang-barang kebutuhan dan pakaian, maka banyak tumbuh tempat-tempat pembutannya atau tempat-tempat produksinya. Di berbagai daerah terdapat tempat-tempat pembuatan barang-barang komoditi perdagangan, seperti kain, sutra, alat-alat rumah tangga, perabot dapur dan lain-lain. Daerah kufah terkenal dengan kain sutra terutama dalam bentuk sapu tangan, daerah Persi terkenal dengan peralatan dari emas, daerah Syam terkenal dengan alat-alat berbur dan barang-barang dari kaca Di samping itu, berbagai kegiatan pembuatan
Selain dua bentuk kegiatan ekonomi di atas, bidang pertanian juga merupakan salah satu garapan sebagian penduduk. Hal ini dikarenakan banyak daerah yang tanahnya subur dan cocok untuk pertanian, ditunjang oleh system pengairan yang cukup bagus. Salah satu daerah yang bernama Fawadi Dajlah dianggap sebagai daerah yang paling subur. Kegiatan pertanian tersebut menghasilkan berbagai macam buah-buahan dan sayur-sayuran yang sebagiannya menjadi barang dagangan yang sangat laku saat itu. Dengan demikian, pada saat-saat awal dinasti Saljuk berkuasa kehidupan ekonomi masyarakat cukup bagus, seiring dengan stabilnya situasi politik saat itu dan kondusipnya keamanan dan ketertiban.
Setelah berlangsung beberapa dekade, seiring dengan mulai munculnya peraturan-peraturan baru yang kurang menguntungkan rakyat seperti pemilikan tanah rakyat oleh negara, maka keadaan ekonomi rakyat terutama sector pertanian mulai mengalami kemunduran. Keadaan diperparah lagi dengan sering munculnya gangguan keamanan yang dilancarkan oleh musuh-musuh pemerintah serta sering terjadinya perang baik dengan pemberontak maupun dengan wilayah lain dan timbulnya berbagai fitnah dan bencana di dalam negara, maka kegiatan ekonomi rakyat secara keseluruhan mengalami kegoncangan. Rakyat mulai merasakan kesusahan-kesusahan, dan tidak sedikit yang mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Pertentangan yang terjadi di kalangan pemerintahan, terutama tentang masalah-masalah politik, ditambah dengan meninggalnya dua petinggi dinasti Saljuk mengakibatkan kondisi negara semakin tidak stabil. Hal ini berimbas pada semakin merosotnya kondisi ekonomi rakyat. Keadaan tersebut lambat laun mempengaruhi kehidupan masyarakat yang sudah semakin kehilangan kepercayaan kepada pemerintah, dan di berbagai daerah banyak timbul pemberontakan untuk memerdekaan daerahnya dari kekuasaan Baghdad, apalagi kondisi pemerintah pusat yang lemah karena adanya berbagai pretentangan.
Dalam bidang kebudayan dan pendidikan, pada masa dinasti Saljuk ini telah lahir tradisi-tradisi budaya dan ilmu yang cukup positif. Orang-orang yang mengkhususkan diri menggeluti dunia ilmu dan tidak banyak terlibat dalam masalah-masalah politik, pada awal-awal berdirinya dinasti Saljuk bisa menikmati kebebasan untuk mengekspresikan kreativitas keilmuannya. Kebebasan berpikir dan berpendapat yang memang sudah tercipta sebelumnya, telah melahirkan berbagai kelompok yang memiliki orientasi keilmuan, terutama setelah didirikannya berbagai tempat belajar dan diskusi, apalagi setelah berdirinya madrasah Nizhamiah.     
Pada saat terciptanya kestabilan politik dan ekonomi, kegiatan keilmuan bergerak maju dengan dipeolpori oleh kelompok-kelompok keilmuan tadi yang memiliki tujuan dan orientasi masing-masing, seperti kelompok Isma’iliah, Shufiyah, Falasifah, Fiqhiyyah  dan lain-lain. Tersebarnya pendirian madrasah ikut mendukung semakin semaraknya kegiatan keilmuan, terutama di kalangan-kalangan tertentu dengan bidang kajian yang beragam baik ilmu-ilmu naqliyah, maupun ilmu-ilmu ‘aqliyah, seperti fiqh, ushul fiqh, hadits dan ulum al hadits, ulum al-quran, filsafat, kedokteran, sejarah dan ilmu Kalam dan bahasa Arab dengan ilmunya.  
Namun seiring dengan merosotnya kehidupan politik pemerintahan dan merosotnya ekonomi rakyat, kebanyakan masyarakat mulai tidak memperhatikan lagi masalah-masalah selain yang berkaitan dengan upaya mereka mempertahankan hidup dari kekurangan pangan. Mereka terjebak pada kehidupan yang mulai jauh dari aturan-aturan etika religius dan akhlak al-karimah. Kegiatan keilmuan hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu dan mereka yang secara ekonomi masih memiliki kecukupan.
Di sisi lain, berkembangnya arus kebebasan membawa implikasi pada munculnya pertentangan diantara kelompok-kelompok yang berbeda paham dan orientasi keagamaannya secara tajam. Disamping berbagai dampak positif yang dirimbulkannya, kebebasan itu ternyata menyebabkan timbulnya perselisihan diantara kamum muslimin dalam bingkai akidah, politik dan fiqh. Perbedaan dan pertentangan itu disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranya sikap fanatik kesukuan, pertentangan khilafah, berdekatannya kaum muslimin dengan kebanyakan penganut agama lain yang sudah terlebih dahulu adanya dan masuknya sebagian mereka kedalam Islam, penerjemahan karya-karya filsafat, terlalu dipermasalahkannya hal-hal yang terlalu dalam, atau –bahkan—karena keberadaan ayat-ayat mutasyabihat dalam al-quran dan istimbath hukumnya. Secara umum, menurut Abu zahrah, kaum mslimin yang terlibat pertentangan itu bisa dikelompokkan kedalam tiga kelompok besar, yaitu madzhab politik, aqidah dan fiqh.

3. Karir Intelektual Imam al-Ghazali
Yang dimaksud dengan karir intelektual al-Ghazali di sini adalah perjalanan al-Ghazali dalam menuntut ilmu dan lebih lanjut mengamalkannya dalam berbagai bentuk kegiatan pendidikan dalam arti transformasi ilmu, baik melalui lembaga resmi, maupun secara pribadi. Pada bagian sebelumnya, sebagian sudah diuraikan riwayat hidup al-Ghazali termasuk yang berkaitan dengan kegiatan mencari ilmu walaupun dalam bentuk yang sangat singkat.
Salah satu hal yang berkaitan dengan karir intelektual al-Ghazali adalah banyaknya orang yang menjadi gurunya dalam berbagai bidang ilmu. Al-Ghazali telah belajar kepada banyak guru sejak kecil sampai dewasa, bahkan sampai sebelum ia menjelang menjadi guru besar di madrasah Nizhamiyah. Diantara guru-guru al-Ghazali yang terkenal ialah:
1.      Ahmad bin Muhammad al-Thûsi, Abu Hamid al-Radzikâni
2.      Abu al-Ma’âli ‘Abd al-Malik bin ‘abd Allah Yusuf bin Muhammad al-Juwaini
3.      Abi Sahal Muhammad bin ‘Abd Allah al-Hafshî
4.      Abi al-Fityân ‘Umar bin Abi al-Hasan al-Rawâsi al-Dihsatâni
5.      Abu ‘ali al-Fadhl bin Muhammad al-Fâramadi al-Kharasâni
6.      Abu Thâlib Muhammad bin ‘ali bin’ Athiyah al-Hâritsi al-Makky
7.      Abu ‘Abd Allah al-Hâritsi bin Asad al-Mahâsibi
8.      Abu al-qâsim al-Junaidi bin Muhammad ibn al-Junaidi al-Khazari
9.      Dalf bin Jahdar al-Syibli
10.  Thaifur bin ‘Isa bin Adam bin ‘Isa bin ‘ali al-Busthâmi
Dari bebrapa nama tersebut kebanyakan adalah guru al-Ghazali dalam bidang tashawuf, dan memang al-Ghazali lebih banyak dikenal sebagai seorang shufi, walaupun sebenarnya ia menguasai juga berbagai bidang lainnya, seperti fiqh dan ushul fiqhnya, hadis, teologi dan filsafat. Al-Ghazali lebih dikenal sebagai seorang shufi karena setelah melakukan pengembaraan intelektual dan spiritual yang dalam perjalanan panjang tersebut ia sempat mengalami kebimbangan, maka akhirnya ia memilih tashawuf sebagai pijakan utama dalam mencari dan menemukan kebenaran. Ia pernah menyerang para filosof yang bahkan dalam beberapa hal menaganggap kufur karena beberapa pendapatnya dianggap keluar dari ajaran al-quran.
Secara lebih kongkrit, karir intelektual al-Ghazali mulai terlihat sebenarnya sewaktu ia masih menuntut ilmu. Pada saat yang bersamaan, ia banyak mengajarkan ilmunya kepada teman-temannya, karena teman-tem,annya mengakui bahwa al-Ghazali merupakan salah seorang yang memiliki berbagai kelebihan dibidang keilmuan. Al-Ghazali sudah menjadi dosen pada saat ia masih sebagai mahasiswa.
Setelah berakhir sejarah al-Ghazali sebagai pelajar, maka mulai pulalah babak baru dari sejarah pendidikan dan karir intelektualnya. Waktu di madrasah Nizham al-Muluk ia sudah dipercaya oleh Imam Haramain sebagai pembantu (asisten)nya. Akan tetapi karirnya dibidang ini baru menanjak setelah ia perki ke ‘Askar. Kota ‘askar merupakan tempat kediaman perdana menteri Nizham al-Muluk, pembesar-pembesar kerajaan, pemimpin dan ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di “askar ia pernah diundang untuk berdiskusi ilmiah dengan sekelompok ulama di hadapan perdana menteri. Di dalam diskusi itu, perdana menteri melihat keluasan dan kedalam ilmu al-Ghazali disbanding dengan ulama yang lainnya. Setelah penampilannya yang baik itu, perdana menteri menaruh simpati kepadanya. Ia disambut dan diberi penghargaan sebagai alim yang dihormati. Di istana ia diberi kehormatan untuk memberi pengajian dua mingguan kepada para pembesar kerajan Saljuk. Pengajian itu tidak saja bermanfaat bagi para pembesar kerajaan, tetapi juga bagi masyarakat Islam pada umumnya, karena hasil pengajian tersebut disebar luaskan.
Pada tahun 481 H/ 1091 M, al-Ghazali diserahi tugas mengajar pada Jami;ah (universitas) yang didirikan Nizhâm al-Muluk di Baghdad. Tahun 484 H/ 1094 M ia diangkat sebagai guru besar dalam bidang syari’ah Islam pada ja,I’ah Baghdad tersebut, padahal usanya saat itu masih sangat muda, tiga puluh empat tahun. Setelah menjadi guru, ia diserahi jabatan sebagai pimpinan jami’ah tersebut.
            Dalam melaksanakan tugasnya sebagai guru besar dan pimpinan (rektor), al-Ghazali memperoleh sukses. Sukses tersebut antara lain diperolehnya berkat kepemimpinannya yang baik dan kepintarannya dalam mengamalkan ilmu. Ia dikagumi oleh para mahasiswa, ulama, pimpinan dan pembesar dinasti Saljuk. Sukses yang diraihnya itu menarik simpati dan perhatian para pembesar dinasti Saljuk untuk meminta nasihatnya dalam masalah agama dan negara. Sejak itu mulailah ia berpengaruh dalam dinasti saljuk.
            Pengaruh al-Ghazali pada masa kekuasaan raja Malik Syah atau masa pemerintahan Nizhâm al-Muluk sebanding dengan pengaruh yang didapat oleh para pembesar istana lainnya, bahkan lebih. Ia dapat mempengaruhi jalannya pemerintahan menurut aliran pikirannya, serta ikut menentukan kebijakan dibidang agama, pendidikan, budaya dan politik. Ia semakin berpengaruh dalam dinasti, sehingga tidak ada satupun urusan negara yang dapat diputuskan tanpa persetujuannya. Ia merupakan guru istana dan mufti besar yang hidup di bawah perlindungan penguasa-penguasa keluarga Saljuk.
            Berdasarkan uraian di atas, karir intelektual al-Ghazali tidak bisa lepas dari dunia pendidikan, terutama yang berkaitan dengan pembinaan akhlak. Al-Ghazali telah memainkan peranan yang sangat penting bagi pembentukan kesadaran spiritual para penguasa Saljuk, masyarakat muslim saat itu dan bahkan sampai sekarang juga. Walaupun demikian, kebesaran dan karir intelektual al-Ghazali tesebut, tidak membuatnya merasa mendapatkan segala-galanya.   Ia tetap merasa belum dapat menemukan jalan yang sebenarnya untuk mencari dan menemukan kebenara yang hakiki. Setelah beberapa tahun mengajar dan menjadi pimpinan di Baghdad, ia pergi meninggalkan Baghdad untuk menunaikan ibadah haji dan melanjutkan perjalanan ke Syam. Setelah itu ia kembali lagi ke daerah asalnya yaitu daerah Thus untuk menjalani kehidupan baru melalui jlan tashawwuf yang diyakininya merupakan jalan terbaik menemukan kebenaran sampai terus melaksanakan kegiatan mengajarnya.

4. Karya-Karya Intelektual al-Ghazali
            Sebagai seorang ‘alim yang luas dan variasi ilmunya, al-Ghazali telah menghasilkan berbagai karya intelektual yang sangat berharga bagi perkembangan Islam dan umatnya. Karya-karya itu tidak hanya menyangkut satu bidang ilmu saja, tetapi berbagai bidang ilmu yang pernah dipelajari dan diajarkannya lagi, baik sewaktu mengajar di madrasah Nidzâm al-Muluk maupun di luar itu.Karya al-Ghazali jumlahnya sangat banyak. Diantara karya-karyanya itu adalah:
a.  Kelompok filsafat dan ilmu Kalam, yang meliputi:
1.      Maqashid al-Falasifah
2.      Tahafut al-Falasifah
3.      Al-Iqtishad fi al-I’tiqad
4.      Al-Munqidz min al-Dhalal
5.      Al-Maqashid al-Asna fi Ma’ani Asma Allah al-Husna
6.      Faishal al-Tafriqah bani al-Islam wa al-Zindiqah
7.      Al-Qishash al-Mustaqim
8.      Al-Mustadhri
9.      Hujjat al-Haq
10.  Mufshil al-Khilaf fi Ushul al-Din
11.  Al-Muntaha fi ilm al-Jadal
12.  Al-Mazhnun ala ghair ahlih
13.  Mahk al-Nazhr
14.  Asrar ilm al-Din
15.  Al-Arba’in fi Ushul al-Din
16.  Iljam al-Awwam min ‘Ilm al-Kalam
17.  Al-Qaul al-Jamil fi al-Radd ‘ala man Ghayyara al-Injil
18.  Mi’yar al-‘Ilm
19.  Al-Intishar
20.  Itsbat al-Nazhr
b. Kelompok Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, yang meliputi:
1.      Al-Basith
2.      Al-Wasith
3.      Al-Wajiz
4.      Khulashat al-Mukhtashar
5.      Al-Mustashfa
6.      Al-Mankhul
7.      Syifa al-‘alil fi al-Qiyas wa al-Tawil
8.      Al-Dzari’ah ila makarim al-Syari’ah
c. Kelompok Ilmu Akhlak dan Tashawuf, yang meliputi:
1.      Ihya ‘Ulum al-Din
2.      Mizan al-‘Amal
3.      Kaimiya al-Sa’adah
4.      Misykat al-Anwar
5.      Minhaj al-‘Abidin
6.      Al-Darar al-Fakhirah fi Kasyf ulum al-Akhirah
7.      Al-‘Ainis fi al-wahdah
8.      Al-qurbah ila Allah ‘Azza wa jalla
9.      Akhlaq al-Abrar wa al-Najat min al-Asrar
10.  Bidayat al-Hidayah
11.  Al-Mabadi wa al-Ghayah
12.  Talbis al-Iblis
13.  Nasihat al-Mulk
14.  Al-‘Ulum al-Laduniyyah
15.  Al-Risalah al-Qudsiyyah
16.  Al-Ma’khadz
17.  Al-Amali
d. Kelompok Ilmu Tafsir yang meliputi:
1.      Yaqut al-Tawil fi Tafsir al-Tanzil
2.      Jawahir al-Quran
Selain beberapa nama kitab tersebut, (mungkin) masih ada yang tidak tertulis pda daftar di atas, akan tetapi yang demikian itu telah mencukupi, karena dianggap dapat mewakili kitab-kitab karangannya yng musnah, hilang atau yang belum ditemukan atau belum dikodifikasikan.  Berbagai karya intelektua tersebut mengambarkan sosok al-Ghazali sebagai seorang ‘alim yang produktif yang perlu dijadikan teladan para ulama dalam berkarya.
Ihya ulum al-Din yang artinya “Menghidupkan kembali ilmu-ilmu (jiwa) agama Islam” merupakan karya besar al-Ghazali dalam karisrnya sebagai pemikir dan penulis Islam. Sebelum sampai pada penulisan karya ini, ia telah menempuh perjalanan spiritual yang panjang dalam bentuk ‘uzlah dan khalwat yang berlansung lebih kurang selama sepuluh tahun. Ihya ‘Ulum al-Din merupakan buah dari perjalan tersebut. Kitab ini ditulis setelah ia memiliki keyakinan dalam menempuh jalan tasawuf dalam mencari kebenaran dan kesempurnaan jiwa.
Menurut Philip K. Hitti,Ihya ‘Ulum al-Din ditulis di Baghdad, yaitu sesudah habis masa uzlah dan khalwatnya al-Ghazali. Kalau pendapat itu benar, maka Ihya ‘Ulum al-Din diperkirakan ditulis sekitar tahun 1105 – 1107 M. Dalam pada itu, ada pula pendapat yang mengatakan bahwa kitab tersebut ditulis pada masa uzlah dan khalwatnya al-Ghazali sendiri, yakni sekitar rahun1095 – 1107 M. Walaupun tidak terdapat keterangan yang tegas kapan Ihya ‘Ulum al-Din ditulis dan berapa lama menulisnya, yang jelas buku itu adalah karya al-Ghazali yang ditulis sebagai buah dari pengembarn dan perjalanan intelektual dan spiritualnya cukup lama.
Dari segi perkembangan pemikiran al-Ghazali sendiri, Ihya ‘Ulum al-Din ditulis setelah ia selesai mempelajari filsafat, ilmu kalam (Teologi), tashawuf dan aliran kebatinan yang berkembang pada masanya. Khusus dibidang tasawuf, diantara buku-buku tasawuf yang mempengaruhinya adalah buku Qût alQulûb karangan Abu Thalib al-Makki dan buku tasawuf al-Harits al-Mahasibi, serta buku-buku sastra sufi lainnya dari al-Junaidi, al-Syivli dan Abu Yazid al-Busthami.
Walaupun al-Ghazali dipengaruhi oleh pemikiran para sufi di atas, tetapi Ihya ‘Ulum al-Din berbeda dengan buku tasawuf mereka. Menurut al-Ghazali sendiri, perbedan itu antara lain terletak pada lima hal berikut. Pertama, Ihya ‘Ulum al-Din mengurikan secara panjang lebar apa yang ditulis oleh mereka secara singkat. Kedua, Ihya ‘Ulum al-Dinmenyusun dan mengatur apa yang ditulis mereka secara berserakan dan tidak sistematis. Ketiga, Ihya ‘Ulum al-Din menyingkat dan menguatkan apa yang mereka tulis secara panjang. Keempat, Ihya ‘Ulum al-Din membuang dan mengisbatkan apa yang mereka tulis secara berulang-ulang. Kelima, Ihya ‘Ulum al-Din memberikan kepastian terhadap hal-hal yang meragukan yang membawa kepada kesalahpahaman, dimana hal itu tidak pernah disinggung dalam tulisan-tulisan mereka.  Inilah lima kelebihan Ihya ‘Ulum al-Din disbanding buku-buku tasawuf lainnya. Dengan adanya beberapa hal ini,maka tidak heran bahwa buku besar al-Ghazali ini menjadi salh satu rujukan penting bagi orang yang ingin mendalami tasawuf dan mengamalkannya.
Kebesaran Ihya al-Ghazali mendapatkan pengakuan baik dari kalangan pemikir-pemikir muslim dan umat Islam pada umumnya, maupun dari pemikir-pemikir non muslim. Ia mempunyi pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan pemikiran, terutama dalam bidang tasawuf, dan lebih khusus lagi di dunia suni, walaupun di dunia syi’ah ia memiliki pengaruh.Diantara pemikir muslim yang menghargainya adalah Ibnu Khaliikan, Muhammad Abduh dan sebagian pemikir Syi’ah. Ibnu Khallikan mengatakan bahwa karya al-Ghazali jumlahnya banyak dan semuanya bermanfaat. Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn adalah karyanya yang paling bagus. Karya ini dari dahulu sampai sekarang banyak mendapat perhatian para pemikir karena nilainya yang tinggi dan manfatnya yang besar. Karya tersebut menjadi babakan baru dalam sejarah pemikiran dan kehidupan rohani Islam.
Adapun di antara pemikir Barat yang menghargai kebesaran Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn adalah Benaventura, para teolog Katholik, Musa al-Maimun dari teolog Yahudi, Alban Widgery, Goldziher, Miguel Asin, D. B. MacDonald dan Hans Bauer. Alban G. Widgery mengatakan bahwa Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn merupakan karya besar al-Ghazali yang mempunyai pengaruh besar di dalam dan di luar lingkungan Islam, serta masih mempunyai daya tarik yang masih besar sampai saat ini. Hal itu dikarenakan dalam buku itu ia memberikan uraian tentang tujuan terakhir dari moral dan agama Islam yaitu tercapainya kebahagiaan dan kesempurnaan jiwa dan akhlak di dunia dalam menuju Allah dan kehidupan akhirat, dan dengan buku itu pula ia diberi gelar Hujjat al-Islam. Goldziher memuji Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn sebgai buku yang indah tentang agama Islam, karena isinya meliputi segala persoalan. Malah ada yang mengatakan bahwa keindahannya sedikit dibawah al-quran. Sedangkan Miguel Asin sebagai pencintanya telah mengadakan studi banding tentang Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn dengan ajaran Kristen. Semua pendapat tersebut menggambarkan adanya pengakuan mereka terhadap Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn sebagai karya besar al-Ghazali yang pengaruhnya masih terasa sampi sekarang. Di Indonesia sendiri, terutama di banyak pesantren terutama pesantren salaf, buku ini menjadi salah satu referensi penting dalam bidang akhlak tasawuf. Para ulama Indonesia juga banyak yang memberi penghargaan yang tinggi terhadap kebesaran buku ini. Karena jumlahnya sangat banyak maka nama-nama mereka tidak disebutkan di sini.
Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn disusun secara sistematis. Ia tediri dari empat rubu’ (bagian perempat). Masing-masing rubu’ terdiri atas sepuluh kitab. Seterusnya masing-masing kitab dirinci atas beberapa bab, fasal, syarah dan bayan (penjelasan). Rubu’ al-‘ibadat didahulukan karena ibadah merupakan pokok dan tujuan utama manusia dijadikan Allah. Keharmonisan hubungan manusia dengan Allah terletak pada factor ibadah kepadanya. Sesudahnya ada rubu’ al-‘adat. Rubu’ ini erat kaitannya dengan hubungan sesama manusia dalam kehidupan sosial dan politik atau hubungan manusia dengan makhluk Allah lainnya. Pembinaan keharmonisan manusia dengan sesama dan lingkungannya adalah tujuan dari rubu’ ini. Rubu’ ketiga dan keempat adalah rubu’ al-muhlikât dan rubu’ al-munjiyât. Kedua rubu’ ini erat kaitannya dengan pembinaan hubungan baik antara manusia dengan dirinya sendiri. Dengan kata lain bagaiaman manusia mampu menghiasi dirinya dengan akhlak yang terpuji serta menghindari akhlak yang tercela. Rubu al-muhlikât berisikan uraian tentang sifat-sifat tercela yang menyebabkan timbulnya penyakit jiwa (amrâdh al-qulûb) serta jatuhnya orang ke dalam kebinasaan (al-fasâd) dan neraka. Rubu’ al-munjiyat berisi uraian tentang sifat-sifat terpuji yang keberadaanny merupakan pengobatan bagi penyakit jiwa, serta pokok pangkal untuk memperoleh ketenangan dan ketentraman hidup, serta meraih kebahagiaan di akhirat nanti. Demikian sekelumit kebesaran dan isi kandungan buku Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn ini.